[10/10]

341 51 16
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keriuhan pengadilan hari ini tidak seberapa parah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keriuhan pengadilan hari ini tidak seberapa parah. Sosok yang menanggalkan jasnya di kapstok hanya perlu melipat kemeja setara siku untuk menurunkan tensi. Ia lekas duduk dan menyalakan komputer guna mendata hasil sidang yang baru saja selesai. Tentu, setelahnya ia perlu membaca laporan-laporan yang lain.

"Minum dulu, Pak. Setelah ini ada yang harus Anda temui."

"Iya? Siapa?"

Sang asisten menyerahkan data yang baru ia terima. Seketika senyumnya mengembang saat menemukan nama familier tertera di ujung kiri atas selembar kertas. Ia langsung membuka halaman berikutnya dan mencermati setiap kalimat yang terjadi. Kali ini, tidak boleh ada setitik air pun yang lolos, batinnya bertekad. Ia refleks menyeringai dan cengar-cengir setelahnya.

"Penyelewengan Dana Anak Pintar?"

"Iya, Pak. Sebelumnya sudah pernah terduga kolusi dan sempat dipidana beberapa bulan. Nanti saya bawakan berkas yang lama."

"Jam berapa pemeriksaan pertamanya?"

"Beliau ke sini sekitar jam satu."

"Oke, masih ada waktu. Makasih, ya. Kamu istirahat saja dulu."

"Baik, Pak."

Lelaki itu segera merapikan rambutnya kembali. Ia juga memakai parfum di pergelangan tangan dan dekat leher. Fokusnya lantas beralih pada foto yang terpajang di dekat tumpukan berkas di sisi kanan. Ia pun meraih dan mengusapnya lembut, merasakan kehadiran sosok yang telah lenyap dari hidupnya bertahun-tahun. Meski berat, ia yakin bisa menghadapinya sendiri.

Setelah jam berputar dan menunjukkan angka yang dinanti, lelaki paruh baya--sekitar lima puluhan tahun--datang mengetuk pintu. Kepalanya menunduk, masih menggunakan masker dan kacamata hitam yang menutupi wajahnya. Setelah mengucap salam, ia lekas duduk dan mendongak, menatap calon jaksa yang akan menuntutnya.

"Ari?"

Sang empunya nama tersenyum. "Siang, Pak Pram. Sudah lama tidak bertemu, ya."

"Bagaimana bisa kamu duduk di situ?"

"Setelah sepuluh tahun berlalu, Bapak masih meragukan kemampuan saya?"

"Kurang ajar," umpat Pram sambil mengepalkan tangan. "Seharusnya putra saya, Toni yang ada di sini."

"Saya turut berduka cita atas meninggalnya sahabat saya."

"Nggak perlu. Kamu sendiri dalangnya."

Ari tertawa kecil seraya menutup mulut. "Bapak tidak salah? Kami berdua sama-sama diselamatkan orang lain waktu itu. Saya tidak tau apa-apa. Seharusnya, saya yang bertanya tentang apa yang ada di media. Jadi, gimana, Pak? Gimana rasanya memanipulasi kematian anak sendiri?"

"Berani-beraninya kamu!"

Asisten Ari yang tidak paham apa-apa sontak berdiri dan menahan tubuh Pram yang tiba-tiba bangkit. Ia menekan pundak lelaki itu agar kembali duduk dan mau bekerja sama dalam pemeriksaan. Ari lekas menggeleng dan memintanya untuk melepaskan Pram. Ia juga memohon agar diberi kesempatan berbicara empat mata terlebih dulu.

"Tahan emosi Bapak. Saya di sini bukan anak ingusan seperti dulu, tapi sebagai jaksa penuntut atas kasus murahan ini," terang Ari penuh penekanan, tetapi dengan suara yang lembut.

"Terserah! Saya akan mencari jalan lain. Saya nggak sudi bekerja sama dengan jaksa sepertimu!"

"Coba saja kalau bisa, Pak. Seharusnya Bapak tau, dengan dibawanya kasus Bapak ke saya, itu berarti jaksa lain sedang tidak ingin ikut campur. Bagaimana? Berapa harga yang akan Anda tawarkan?"

"Bajingan!"

Ari memundurkan kursinya saat Pram mendekat dan ingin melayangkan sebuah pukulan. Ia menyeringai puas setelah berhasil menghindar dengan mulus. Kemudian ia menghela napas lega berkali-kali. Dadanya kini lapang dan ringan. Senyum yang tampak kaku dan penuh beban selama bertahun-tahun itu perlahan menemukan kebahagiaannya.

"Bapak tenang saja. Saya akan mengerjakan kasus ini dengan sebaik mungkin. Akan saya pastikan Pak Pram mendapat bayaran yang setimpal, seperti apa yang Doni terima saat mengakui kesalahannya dulu, tanpa melibatkan ayahnya yang jauh lebih hina. Bapak juga nggak perlu repot-repot untuk mengeluarkan uang lagi. Mari bermain dengan bersih."

🍃

TAMAT


Cuap-cuap kesannya ada di sebelah, ya.
Terima kasih telah menemaniku menulis cerita ini.

[2] Stepb: The Other Sin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang