Morning Argue

733 77 8
                                    

Tidak ada pagi yang tenang, tak ada minggu untuk beristirahat.

Jason sudah pasrah dengan suasana pagi apartemennya yang kacau balau, dia memiliki enam tamu tak diundang yang mengirim malapetaka di hari minggu yang seharusnya ia manfaatkan untuk beristirahat dari padatnya pekerjaan di weekday.

Dia membaringkan tubuhnya di sofa melingkar yang ada di depan televisi, televisi sedang menyala dan menampilkan berita salah satu pejabat dari partai besar tertangkap oleh KPK, Jason tidak sedang menikmati berita itu, dia sedang memejamkan matanya, mencoba berkosentrasi untuk menyambung mimpinya yang bahkan belum dimulai, ia tiba di apartemen saat fajar dan sekarang pukul setengah sembilan.

Harusnya Jason bisa dengan mudah masuk ke alam mimpi, mengingat semalam ia hedon hingga pagi hari, ditambah mengurus teman-temannya yang mabuk juga menguras banyak tenaga, akan tetapi rasanya sulit sekali keluar dari kesadarannya dan tertidur. Bagaimana bisa Jason tidur saat telinganya terus menerus menangkap gelombang suara keributan yang diciptakan oleh sekumpulan orang yang sialnya ia anggap sebagai teman.

Mereka sungguh tak tahu diri, tak merasa sungkan sama sekali pada Jason sang pemilik rumah. Jason tak tahu apa yang terjadi di bagian lain apartemennya, yang pasti huru-hara tengah berlangsung, ia terlalu malas untuk bangkit menengok, menegur mereka juga hanya akan melelahkan bagi mulutnya, maka Jason meraih bantal kursi dan membekap kedua telinganya, dia angkat tangan.

Sedangkan Jeno baru terbangun, ia ada di kamar bernuansa putih yang ia ketahui merupakan kamar Jason, Jeno sudah pernah datang kemari, ia mengenali foto besar berisi potret masa SMA Jeno, Jason dan kawan-kawan lainnya yang dipajang di sudut kamar.

Jeno memijat kepalanya yang berdenyut, merasa ranjang yang menjadi tempatnya duduk berputar kencang, membuatnya pusing dan mual, dengan kaki yang goyah saat menapaki lantai, Jeno berlari ke kamar mandi dan muntah dengan hebat. Dia baru sadar jika semalam telah meneguk terlalu banyak alkohol.

Setelah mencuci mukanya, Jeno keluar dari kamar, ia mendapati Haekal, Rendra dan Mark berada di dapur sedang membuat kekacauan. Kulit telur bertebaran di lantai, diikuti putih telur dan minyak yang mengotori lantai, Jeno heran kemana Jason sementara dapurnya sedang dihancurkan.

Sebenarnya Haekal bisa memasak, tidak pandai tapi dalam tingkat yang bisa memasak beberapa menu sederhana, masalahnya ada pada Rendra yang terus menerus menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap masakan Haekal, katanya jangan masukkan itu, jangan tambahkan ini, jangan tambahkan itu, juga pada Mark yang buruk sekali dalam mengoperasikan alat masak.

"Kalau aja ada Javin, makan enak kita pagi ini!" Keluh Mark yang melihat masakan pagi mereka tak dapat dimakan, Haekal membuang nasi goreng yang tampilannya amburadul itu ke tong sampah.

"Kenapa enggak pesen aja sih?" Jeno bersuara, membuat orang-orang itu menoleh menatapnya yang berdiri di pintu dapur.

"Masih mabok lo?" Tanya Haekal.

Jeno menggeleng, meskipun sebenarnya ia masih merasa pusing tapi ia seratus persen mengingat segalanya, kejadian semalam di club, juga perasaan gundah yang menyebabkannya mencari pelampiasan.

Mark meraih ponsel, "iya, kita pesen makan aja."

"Kenapa nggak dari tadi?" Kata Rendra seperti menyalahkan, "kan nggak perlu buat dapurnya berantakan!"

"Gara-gara lo berisik banget makanya dapurnya berantakan, masakannya gagal lagi," keluh Haekal.

"Kok gue sih?"

Jeno menghela nafas, dua orang ini mulai lagi desahnya dalam hati, ia berlalu pergi, menghindari percekcokan Haekal dan Rendra yang demi apapun sudah sangat Jeno hafal, sejak kecil mereka berdua memang kurang banyak kecocokan.

Can We Be Friend? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang