Woman And Their Problem

979 117 68
                                    


Perasaan Lia campur aduk.

Dia merasa bahagia, sedih, bingung, takut, khawatir dan perasaan lain yang mengaduk hatinya hingga terasa gundah.

Lia menatap tangannya yang terus digenggam oleh Jeno. Pria itu, orang yang dicintainya, telah datang dengan memberikan pertolongan untuknya, menawarkan kebahagiaan dan menjanjikan keamanan.

Lia sempat merasa begitu yakin untuk berlari ke pelukan Jeno, tapi kini dia bimbang, dia risau jika keputusannya ini akan membawa banyak masalah untuk orang-orang di sekitarnya.

Ibu, kakak-kakaknya dan Jeno.

Lia tidak ingin lagi membebani Jeno, dia tidak ingin pria itu kembali terluka karenanya.

Lia hanya seorang wanita biasa, dia tidak berasal dari Dunia yang sama dengan Jeno.

Dia khawatir tidak akan mampu menanggung Dunia Jeno yang gemerlap, dia takut ditolak oleh orang-orang di Dunia itu.

Lia membayangkan reaksi orang tua Jeno. Apa yang akan mereka pikirkan tentang Lia? Seorang wanita yang kabur di hari pernikahan dan mempermalukan keluarga?!

Bagaimana jika Lia menyebabkan keretakan di antara Jeno dan orang tuanya.

Lia takut. Dia takut sekali.

Jeno tidak mengatakan apapun selama perjalanan, Lia pun tidak ingin memulai pembicaraan, dia tengah bertarung dengan pikirannya yang terus bercabang dan membuatnya sakit kepala.

Jeno membawanya ke sebuah hotel bintang lima, mereka check in di suit room.

Begitu Lia duduk di sofa yang ada di ruang tengah kamar hotel, Jeno memberinya segelas air putih.

"Minum dulu, tenangin diri kamu!"

Lia menerima air mineral itu dan meminumnya sampai tandas, Lia menghela nafas dan menjatuhkan punggungnya bersandar pada kursi.

Dia lelah sekali hari ini, baik secara fisik maupun batin.

"Sekarang udah malam, aku akan minta sekretaris-ku untuk beliin kamu baju ganti, kamu bisa mandi dan ganti baju dulu, aku mau pesan makan, kamu mau makan apa?"

Jeno berkata dengan panjang lebar. Membuat Lia menatap seksama pria itu, mencari ketegangan atau keraguan di mata Jeno, akan tetapi tidak ada, Lia tidak menemukannya.

Jeno menatapnya dengan sorot mata yang tegas dan lembut, sorot mata yang sama saat pria itu menggenggam tangannya dan mengajaknya berani untuk memperjuangkan kebahagian mereka.

"Jeno!" Panggil Lia dengan nada yang sangat pelan, terdengar seperti sebuah bisikan.

"Hm?"

Tapi Jeno mendengarnya dan memberikan atensi penuh padanya. Lia kembali ragu untuk bicara, Jeno kembali menggenggam tangannya dan Lia akhirnya mengutarakan segala kekhawatirannya.

"Apa kamu nggak takut resiko dari ini semua? Orang-orang mungkin akan bicara buruk tentang kamu, orang tua kamu mungkin nggak akan setuju, mereka mungkin bakal kecewa ke kamu."

Jeno menghela nafas panjang.

"Lia!" Pria itu memulai dengan menyebut namanya, "setiap sikap dan perbuatan yang kita ambil dan lakukan akan selalu punya resiko di sampingnya, kalau kita terus mikirin tentang resiko-resiko itu dan nggak berani untuk jalan ke depan, kita akan tetap ada di tempat awal kita berdiri, kita nggak akan bahagia, kita nggak akan bisa mewujudkan apa yang kita impikan, kita akan terus tertinggal di belakang untuk meratap, menyesal dan tidak bahagia."

Jeno menyambung kalimatnya.

"Mau sesulit apa kedepannya, kalau kita saling percaya dan berani, kita pasti bisa lalui ini bareng-bareng. Jangan takut karena aku nggak takut apapun!"

Can We Be Friend? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang