twenty-eight

453 72 64
                                    

TWENTY-EIGHT : Resistor

...

"Disini, mas."

Langkah Arsenio terasa lamban mengikuti suster itu memasuki bangsal ICU. Sejujurnya, semuanya terasa lamban kala itu.

Arsenio tidak bisa berpikir lurus. Matanya bergerak menatap pasien-pasien lain yang tirainya tersingkap. Semuanya tidak sadarkan diri, terlihat setengah mati, atau mungkin tengah berjuang untuk hidup.

Tapi Vanya bukan keduanya.

Suster itu mengucapkan belasungkawanya sebelum meninggalkan Arsenio sendiri di hadapan tubuh yang tertutupi kain berwarna putih itu. Arsenio menatap tangan yang tergeletak di sisi tubuh itu, dan seluruh jiwanya tahu itu adalah tangan yang selama ini ia genggam dengan lembut, tangan yang selama ini mengusap rambutnya, mengelus pundaknya. Tangan yang halus, jemari-jemarinya lentik, dan kulitnya mulus.

Kedua kaki Arsenio sudah lemas. Badannya sudah gemetaran. Dimana ia tahu jelas itu adalah Vanya, bagian kecil dari bawah sadarnya melawan kenyataan. Bukan Vanya, ya Tuhan, itu bukan Vanya.

Tangannya yang bergetar menyingkap pelan kain yang menutupi wajah itu.

Di saat itu juga, langit serasa runtuh. Tidak hanya runtuh, tapi menghujam punggungnya, menceloskan hatinya ke dasar perut, nyaris membunuhnya. Pada saat itu Arsenio benar-benar berharap perasaan itu membunuhnya.

Arsenio tidak bisa bersuara, udara di sekitarnya seperti benar-benar dikuras habis. Ia melangkah, tertatih, dan sekujur tubuhnya jatuh ke tanah.

"Mas!" Beberapa suster yang menjaga di pos penjagaan menatapnya khawatir. Yang tadi mengantarnya ke hadapan Vanya, berlutut dan berusaha untuk memapahnya berdiri, tapi Arsenio menepisnya kasar.

Senyawa | sungchan-winter.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang