twenty-one

660 124 98
                                    

TWENTY-ONE : Proton dan Elektron Selalu Lancar PDKT

...

Arsenio mencengkram buket bunga dan paper bag cokelat di tangannya, lalu tersadar, ia menggosok-gosok kerutan yang ia buat dengan tangan, seperti meluruskannya lagi.

Ia langsung berdiri kala mobil yang ditunggu-tunggunya muncul di persimpangan. Dengan gugup menunggu mobil hitam itu mendekat dan berhenti di depan pagar rumah.

Begitu wanita itu keluar; tinggi, langsing, dengan pakaian formal-- penampilan yang sama sekali tidak mencerminkan usianya, Arsenio memberanikan diri untuk membuka mulut.

"Tante Gina."

Wanita itu langsung mengenali wajahnya. "Arsenio?"

"Kenapa kesini?" tanya wanita itu. "Ada urusan apa, nak?"

Arsenio tersenyum pahit, dadanya serasa dihantam rata. "Saya cuma mau tahu kabar Tante sama Om."

"Sudah ikhlas," jawab wanita itu sambil tersenyum tipis sekali. "Kamu yang belum, kan? Itu kenapa kamu datang? Pulang ya, kamu." Tanpa basa-basi lagi, ia berbalik dan berjalan pergi.

"Om ke rumah orangtua saya, Tante?" tanya Arsenio menghentikan langkah wanita itu. "Bunda saya yang ada di rumah waktu itu."

Tante Gina menghela napas pelan, lalu berbalik menghadapnya. "Untuk itu Tante yang minta maaf. Ngga seharusnya Bunda kamu kedengaran kata-kata seperti itu."

"Kalaupun Tante uda ampuni saya.." Arsenio mengeratkan cengkramannya pada paper bag di tangannya. "Tapi Om belum, kan? Boleh saya coba lagi, Tante? Minta pengampunan dari kalian berdua."

"Apa lagi yang bisa kamu lakuin?" Tante Gina tersenyum getir. "Kamu mau berlutut lagi, biarkan diri kamu dicaci-maki? Kamu mau diumpati berapa kali pun oleh suami Tante, ngga bakal buat Vanya balik."

"Saya tahu, Tante." Arsenio menelan ludah. "Tapi saya ngga bisa hidup begini terus, dan Tante sama Om ngga bisa hidup begini terus."

"Tante udah ikhlas," ucap wanita itu. "Dan kalau kamu mencari kebebasan kamu engga sepantasnya datang ke kami, karena Om udah sakit, nak."

"Skizofrenia dan dimensia," sambung Tante Gina. "Penyakit orang tua. Dia ingat semuanya sepenggal-sepenggal. Kadang dia pikir Vanya masih hidup. Kadang dia pikir dia punya dua anak. Terus kadang, setiap kali dia ngelihat laki-laki seumur kamu, amarahnya kepancing dan mau dia pukul. Kadang dia sadar, tapi agresif. Itu kenapa dia datang ke rumah kamu waktu itu."

Arsenio terdiam.

"Pulang ya, kamu," ulang Tante Gina. "Sia-sia kamu kesini lagi, Arsen."

"Tante.." Pria itu mencegatnya. "Saya mau ketemu Om sebentar aja.. boleh kan, Tante?"

Tante Gina tampak menimbang-nimbang, tapi pada akhirnya ia mengangguk. Biar lelaki itu melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Hawa rumah Vanya dingin, seperti tidak ada lagi kehidupan. Arsenio meletakkan paper bag dan bunga itu di atas meja ruang tamu, lalu melihat ke sekeliling.

Rasanya kosong. Ternyata seperti ini situasi rumah yang kehilangan jiwa terhangatnya. Sedikit mengingatkannya pada rumahnya sendiri, setelah kepergian Ayah.

Arsenio mengikuti Tante Gina berjalan menelusuri lorong gelap menuju barisan kamar. Pintu kamar paling ujung terbuka, seorang wanita muda keluar dan menunduk begitu melihat majikannya.

"Malam, Bu. Bapak sudah makan dan minum obat."

"Baik, kamu istirahat," balas Tante Gina.

Wanita itu masuk ke dalam ruangan itu. "Mas," Suaranya berubah lembut. "Uda makan, mas?"

Senyawa | sungchan-winter.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang