twenty-four

711 114 107
                                    

TWENTY-FOUR : Mortui vivis praecipiant (Let the Dead Teach the Living)

...

y'all hit the goal, as promised Marisen comes back 🥺❤️ and the plot thickens.

p.s. aku harus ngubah tag jadi mature content karena Marisen post-jadian itu mesra abis 😀🔫 (NOT 18+, but a certain level of maturity is recommended)

...

"Dingin gak?"

Arsenio kembali dari mobil dengan dua kaleng kopi instan yang mereka beli dari indomaret sebelum datang kesini. Ia melepaskan jasnya dan menyerahkan pakaian itu kepada Marissa yang mengenakan gaun backless dan tidak berlengan.

"Biasa aja kok," balas perempuan itu tersenyum tipis, tapi tetap menyampirkan jasnya di kedua pundak. Bukan karena dingin, tapi karena ia menyukai aroma lelaki itu.

Arsenio menggelar selimut di atas rerumputan. Keduanya telah meninggalkan after party pesta pernikahan Sonia, dan kini sedang menunggu matahari terbit.

Arsenio duduk di sebelahnya di atas hamparan selimut. "Here," Ia menyerahkan kaleng kopi yang sudah dibuka kepada perempuan itu. "Supaya tahan sampai sunrise."

Marissa menerimanya dengan senyum kecil. Ia meneguk cairan kecoklatan itu, merasakan angin malam menjelang pagi menerpa wajahnya. Lalu merasa terganggu dengan jumputan rambutnya yang menampar-nampar wajah, ia mengikatnya menjadi satu. Ujungnya yang ikal bergelombang menjatuhi pundak.

Arsenio tersenyum menatapnya dari samping sambil menggulung lengan pakaian. Marissa membalas senyumnya. Tanpa jasnya dan hanya kemeja putih, ia harus mengakui pacarnya tampan sekali.

"Kenapa?" tanya perempuan itu, menggunakan tangannya untuk merapikan rambut Arsenio yang terkena angin.

Pria itu menggeleng, mengambil tangan kekasihnya itu dan mengecupnya berkali-kali sebelum menggenggamnya hangat.

Marissa tertawa kecil, mendekat dan menyampirkan jas Arsenio ke pundak mereka berdua, supaya sama-sama berselimut. Ia menyandarkan kepalanya ke lelaki itu, lalu menguap kecil. "Kenapa tiba-tiba mau ngeliat matahari terbit?"

"Aku suka kalo lagi mumet. Rasanya enak aja."

"Nanti kalo kita balik pagi-pagi, ngga takut dikira yang enggak-enggak sama Bunda?" tanya Marissa menggoda, menyikutnya pelan.

"Enggalah, aku kan uda biasa pulang pagi."

Arsenio tertawa waktu Marissa mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Becandaaa," katanya gemas.

"Tapi," Marissa mengambil tangan Arsenio untuk melihat jam tangannya. "Masih ada bentar lagi sebelum langitnya terang. Kita ngobrol aja dulu."

"Okay." Arsenio menegakkan badan. "Mau ngomongin apa?"

"I don't know, to get to know each other better." Marissa merapikan rambut lelaki itu dengan tangannya.

"Can I ask more about Vanya?" sambungnya dengan nada agak khawatir.

Arsenio sempat kaget mendengar nama itu disebut dari mulut kekasihnya. Ia menganggukkan kepala. "Hm, go ahead. Mau tanya apa?"

"Kalian pacarannya berapa lama?"

"Tujuh tahunan," jawab Arsenio. "Dari SMA, iya."

Marissa mengangguk-angguk. "Terus putusnya?" tanyanya pelan, tidak enakan.

"Kecelakaan."

"Kamu yang nyetirin?" tanya Marissa.

Arsenio menggeleng. "Engga, tapi dia lagi di perjalanan ke tempatku waktu kejadiannya."

Senyawa | sungchan-winter.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang