FOURTEEN : Unsur Unsur Apa Yang Paling Kesepian?
...
Arsenio mengendarai motornya dengan kecepatan sedang membelah jalanan pada malam hari.
Di belakang helm ia memasang seulas senyum tipis. Setelah film yang mereka tonton selesai, Marissa ia biarkan diantar pulang oleh Dirga menggunakan mobil.
Sejujurnya ia tidak tahu apa yang ia rasakan terhadap Marissa, tapi ia menyenanginya. Ia menyenangi setiap detik berada di sekitar perempuan itu, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan tentang orang lain.
Arsenio menggunakan kakinya yang panjang untuk menghentikan motornya di dekat pagar rumah, dan mengeluarkan kunci gembok dari dalam kantong.
Waktu pertama kali masuk ke pekarangan rumah, hal yang pertama ia sadari adalah Keisha belum pulang, terbukti dari motornya yang belum terparkir duluan.
Arsenio melepas helm dan menyisir rambutnya dengan tangan. Dilihatnya ke sekeliling. Apa adiknya itu masih bimbel? Tapi hari ini hari Minggu. Kalau begitu apa artinya Bunda sendirian di dalam rumah?
Pria itu membuka pintu rumah setelah melepas sepatunya dan menaruhnya di atas rak. Arsenio masuk ke dalam rumah, meletakkan tasnya di atas sofa.
"Kak?"
Arsenio menoleh, mendapati sosok ibunya yang tengah duduk di sofa sambil menatapnya nanar.
"Eh, Bunda," sapanya sambil tersenyum. "Aku pulang."
Wanita itu membuang muka. Arsenio mengerutkan keningnya bingung. Ia berjalan mendekat, memperhatikan wajah Bunda yang sembab.
"Bunda?" panggilnya. "Bunda barusan nangis?" tanyanya tanpa basa-basi.
Bunda masih tidak mau menatapnya, sehingga Arsenio mengambil tempat duduk menyerong, otomatis membuat wajah keduanya bertatapan.
"Bunda," panggilnya lagi dengan nada serius. "Bunda kenapa nangis?"
Wanita itu mengangkat kepalanya lemah, menatap putranya dengan sorot mata yang begitu sendu, sampai-sampai Arsenio merasa hatinya sakit.
"Kamu," Bunda melirih, bibirnya bergetar, "Kenapa ngga bilang..?"
Arsenio mengerutkan kening tidak mengerti. "Aku... ngga bilang apa, Bunda?" tanyanya perlahan.
"Kenapa kamu ngga bilang?" ulang Bunda lagi, sekujur tubuhnya mulai gemetar. "Kenapa kamu ngga bilang, kak?! Kenapa?!"
Dengan cepat Arsenio mendekap ibunya yang histeris, menjalankan tangannya di punggung wanita itu yang lebar. "Aku ngga ngerti, Bunda..." katanya perlahan. "Bunda? Bunda? Tolong tenang. Jelasin ke aku, maksudnya apa yang ngga aku bilang, Bunda?"
"Kenapa kamu ngga bilang, pacarmu meninggal di Bandung??!"
Napas Arsenio sontak tercekat. Sesak. Tiba-tiba saja ia merasa lehernya seakan dicekik, sampai-sampai untuk menggapai udara saja ia kesulitan.
Arsenio membatu, sementara ibunya menangis makin deras. Ia sudah berulang kali membayangkan bagaimana wanita itu akan mengetahui tentang Vanya dan dirinya, tetapi tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikirannya akan seperti ini jadinya.
"B-Bunda..." Ia susah payah menelan ludah. "... darimana Bunda tahu?"
"Darimana Bunda tahu?!" ulang wanita itu histeris, sambil meremat dadanya dengan sebelah tangan. "Darimana Bunda tahu, kamu tanya?!! Dari orangtua Vanya! Dari orangtua Vanya yang datang ke rumah karena dengar kamu pulang ke Jakarta tanpa bilang apa-apa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyawa | sungchan-winter.
Hayran KurguLove doesn't truly ever die. It is revived, with the right person. ... Arsenio tidak sedang buru-buru mencari pengganti Vanya-- perempuan yang sudah meninggalkannya tiga tahun silam, namun masih berdiam di dalam hatinya yang kini terkunci rapat. L...