FIVE : S&K Pria yang Tepat
...
Malam itu Arsenio dan ibunya duduk berduaan di meja makan, dan berbicara tentang segala sesuatu yang tidak mereka bicarakan selama tujuh tahun terakhir.
Sayur-sayur sisa makan malam sudah disimpan ke dalam kulkas, sehingga tidak ada apa-apa di bawah tudung saji kecuali botol kecap. Arsenio menggerakkan tangannya di atas permukaan meja yang ditutupi taplak plastik.
Bunda datang dengan dua gelas teh manis hangat, salah satunya disodorkan ke dekat putra sulungnya. Ia duduk di kursi berseberangan, masih mengusap sisa air mata di sudut matanya.
Arsenio menyesap teh itu pelan-pelan. Cairan manis itu menghangatkan badannya yang sudah capek seharian.
"Bunda apa kabar?"
Wanita itu menatapnya lembut. "Bunda masih nggak percaya ini beneran kamu."
Arsenio tersenyum tipis. Ia menyesap tehnya sekali lagi, sebelum ia letakkan di atas meja. "Sejak ayah pergi, gimana kabar Bunda?"
Bunda terpaku sejenak, sebelum akhirnya memasang senyum lembut. "Bunda kangen. Sama ayah. Setiap hari."
Begitu memang rasanya ditinggalkan oleh orang yang disayang. Arsenio tersenyum tipis. Tiga tahun ditinggalkan oleh Vanya, dan ia tidak punya perasaan apa-apa selain rindu.
"Tapi Bunda masih punya Keisha," sambung wanita itu sambil tersenyum. "Dan kamu. Bunda masih punya kalian berdua, jadi Bunda baik-baik aja."
"Keisha uda kelas dua belas?" tanya Arsenio mengingat-ngingat adik perempuannya itu. "Uda mau masuk perguruan tinggi?"
"Dia mau ke ITB kayak masnya," kata Bunda menggoda. "Setiap hari rajin bimbel. Ini aja lagi belajar di kamarnya."
Arsenio terkekeh pelan. "Aku pengen ketemu sama dia. Kira-kira dia masih ingat aku?"
"Keisha enggak bakal pernah lupa sama kamu," kata Bunda lembut. Ia melirik ke arah ambang pintu cepat, seakan memastikan anaknya yang satu lagi benar-benar tidak ada di dalam peredaran, sebelum mendekat dan berbisik pelan, "Dia sampe mau ngambil paket di Exampro cuma buat ngeliatin masnya."
Arsenio tertawa kecil, menyandarkan tubuhnya ke belakang. "Oh, jadi selama ini profilku di-stalk."
Bunda mau tak mau ikut tertawa. "Tiap minggu kalo itu mah. 'Bunda, mas Arsen begini', 'Bunda, mas Arsen review-nya bagus', 'Bunda, kapan kita ke Bandung buat ngeliatin mas Arsen?'. Bener-bener, anak itu sayang banget sama kamu."
Senyum di wajah lelaki itu perlahan-lahan sirna.
Bunda ikut menyadari perubahan ekspresi putra sulungnya, dan akhirnya menawarkan seulas senyum lembut, seakan meminta lelaki itu supaya tidak merasa bersalah.
"Aku mas yang enggak berguna," kata Arsenio miris.
Wanita itu menggeleng tidak setuju. "Kamu mas yang hebat," koreksinya lembut, sambil pelan-pelan membelai wajah putranya dengan sebelah tangan.
Arsenio menatap ibunya dengan senyum lelah. Ia menangkup tangan wanita itu di sebelah wajahnya, lalu menurunkannya.
"Boleh aku jujur ke Bunda?"
Sang ibu mengangguk.
"Aku rindu Ayah.."
Arsenio menunduk. Untuk sekali ini saja, ia ingin berhenti jadi anak tertua. Untuk sekali ini saja, ia ingin jadi anak ayah dan bunda. Bukan masnya Keisha. Bukan laki-laki yang ditinggal mati pacarnya. Bukan si tentor utusan Zeda yang tiba dari cabang Bandung pagi ini. Ia hanya mau jadi anak ayah dan bunda. Hanya itu. Tidak lebih, tidak kurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyawa | sungchan-winter.
Fiksi PenggemarLove doesn't truly ever die. It is revived, with the right person. ... Arsenio tidak sedang buru-buru mencari pengganti Vanya-- perempuan yang sudah meninggalkannya tiga tahun silam, namun masih berdiam di dalam hatinya yang kini terkunci rapat. L...