(Name) memasuki rumahnya dengan langkah kesal. Gadis itu langsung berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Wakasa sendiri menyusul langkah (Name).
"Kamu tidak apa apa?" Tanya Wakasa.
"Menurutmu!?" Ketus (Name). Namun setelahnya gadis itu menghembuskan nafasnya pelan setelah sadar ia nyaris melampiaskan emosinya pada kekasihnya yang sama sekali tidak bersalah.
"Maaf." Lirih (Name).
Wakasa tersenyum maklum. Pria itu menarik tubuh (Name) agar mendekat dan mengusap sayang kepala (Name).
Untuk sejenak (Name) memejamkan matanya, menikmati usapan lembut Wakasa. Namun setelahnya ia kembali membuka matanya lebar lebar.
"Mengapa si sialan itu bisa mengenalmu!?" Sentak (Name).
"Tidak, aku bahkan tidak tau namanya." Balas Wakasa.
"Saat itu aku ingat memang nyaris menabrak seseorang, itu salahnya karena asal menyebrang. Aku bahkan tidak menyadari bahwa dia adalah orangnya." Lanjut Wakasa.
(Name) mendengus, "Di pertemuan selanjutnya, akan aku hancurkan wajah sialannya itu."
"Jangan dekat dekat dengan dia!" Ucap (Name) setelahnya.
"Siap, princess." Balas Wakasa. "Lagipula aku tidak berminat untuk dekat dekat dengannya. Habis aku punya kekasih galak dan mengerikan saat dia marah, namun juga super menggemaskan."
"Namanya (Name)." Wakasa melingkarkan tangannya pada tubuh (Name) dan mendekap erat tubuh gadis itu.
(Name) sendiri menggenggam erat tangan Wakasa. Sebenarnya saat ini ia takut. Ia takut sesuatu yang berharga baginya lagi lagi akan dirampas.
"Kamu tidak akan meninggalkan aku kan?" Lirih (Name).
Wakasa mendekatkan telinga (Name) pada dadanya. Tingkah pria itu membuat (Name) dapat mendengar betapa keras bunyi detak jantung Wakasa saat ini.
"Kamu mendengarnya kan?" Bisik Wakasa. "Menurutmu apa aku sanggup meninggalkan seseorang yang bisa membuat jantungku berdetak sekencang ini?"
"Aku tidak tau. Aku takut." Lirih (Name). "Anna itu jahat, aku takut dia membuatku kehilangan kamu juga."
"Kamu tidak akan kehilangan aku, okay?" Bisik Wakasa.
"Apa kamu berjanji?" Tanya (Name).
"Janji." Jawab Wakasa pasti.
Suara teriakan histeris membuat (Name) dan Wakasa kompak menengok. Keduanya menatap Narumi yang berdiri tidak jauh dan sedang menutup kedua matanya.
"Apa ini, (Name)!? Aku belum siap punya keponakan darimu!" Pekik Narumi.
(Name) melepaskan dirinya dari kukungan Wakasa, mengambil bantal sofa dan melemparnya hingga menghantam wajah Narumi.
"Jangan membuat orang salah paham karena pikiran kotormu, sialan!" Pekik (Name) kesal.
(Name) mendekat, "Mengapa kamu bisa di sini?"
Narumi menyengir lebar, "Akeno-san bilang kalau dia sedang sibuk bekerja. Lalu saat aku menawarkan diri untuk menemaninya, dia mengiyakan dan menyuruhku kemari."
"Tunggu. Seberapa jauh hubunganmu dengan aniki sekarang?" Tanya (Name).
Narumi menyengir semakin lebar, "Rahasia." Gadis bersurai merah itu mengedipkan sebelah matanya.
Akeno sendiri muncul tak lama kemudian. "Aku mendengar suara teriakan."
"Lho!? (Name)? Kupikir kamu kencan diluar dengan Wakasa." Ucap Akeno setelahnya.