33. Untuk Apa Aku Dipertahankan ?

2.5K 195 31
                                    

Subuh kala itu setelah Syafa membuka kedua kelopak matanya, tak ia temukan seorang pria yang biasanya masih tertidur menghadapnya, tidurnya terasa sedikit hampa setelah tak ada pelukan hangat yang biasa menemaninya.

Syafa mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang sebelum beranjak untuk mengambil air wudhu, fikirannya terlebih dahulu berkelana pada sosok suaminya yang entah pukul berapa meninggalkan kamar ini.

Saat ia akan berjalan menuju kamar mandi, Syafa melihat sepiring nasi dan segelas air putih yang masih utuh di atas nampan berwarna putih. Miris, nasi itu sudah terlihat dingin dan lauknya pun mungkin sudah tak sedap untuk di cecap lidah.

Syafa terus berfikir mencari jawaban dimana letak kesalahannya, sehingga Gus Abyan mendiamkannya bahkan tak ingin menyentuh makanan yang ia hidangkan.

Setelah mengambil air wudhu dan memasang mukenahnya, Syafa mengambil nampan itu dan meletakkannya di dekat tempat untuk mencuci piring, ia terlalu tidak tega membuang makanan yang sudah dihidangkannya dengan penuh ketulusan itu.

"Mba Syafa, punya siapa makanannya ?"

Suara itu membuat Syafa terlonjak kaget, ia memutar tubuhnya dan menemukan adik iparnya dengan mukenah yang juga sudah tersemat di tubuhnya.

"Ahh itu, punya mba Syah."

Aisyah memicingkan matanya, tidak percaya melihat gelagat kakak iparnya.

"Mba semalem nyiapin buat bang Abyan ya ?" Ucap Aisyah curiga.

Syafa terdiam, tidak ingin menjawabnya. Ia tidak mau hubungan saudara itu semakin memburuk.

Tetapi bagi Aisyah keterdiaman Syafa sudah menjelaskan semuanya, gadis itu menghela nafasnya tidak menyangka dengan perbuatan abangnya sendiri. Wanita itu tidaklah salah tapi, justru Syafalah lah yang abangnya sakiti, lalu kenapa pria itu yang seakan merasa tersakiti hingga mengacuhkan istrinya ?.

"Sudah mba, ayo ke masjid bareng Aisyah, bentar lagi adzan." Ucap gadis itu lalu merangkul lengan Syafa.

***

"Eh Za tadi aku ngeliat Gus Abyan lagi ngobrol berdua sama ustadzah Marwa."

"Husss jangan membicarakan hal yang akan menjadikan fitnah Ris."

"Aku serius Za, tadi aku denger Gus Abyan nanya kabarnya ustadzah Marwa."

"Cuma tanya kabar wajar saja Ris, mungkin itu hanya sikap perduli Gus Abyan terhadap para ustadzah."

"Apa ada sesuatu di antara mereka ya Za ?"

"Sudah sudah Ris, hal itu cukup jadi urusan mereka. Kita cuma santri yang numpang belajar di sini, tidak elok jika ikut campur urusan para keluarga ndalem."

Di balik dinding bercat putih yang dingin, Syafa menyenderkan tubuhnya sembari mengelus dadanya. Rumor tentang Gus Abyan dan Marwa semakin merebak di pesantren ini, setiap hari Syafa mendengar dugaan dugaan santri yang membuat suasana hatinya memanas.

Nyeri hatinya akibat sifat Gus Abyan yang masih mengacuhkannya membuat Syafa seolah hidup tak berpenopang, dia semakin terlihat miris. Di acuhkan oleh suaminya dengan rumor yang mengarah pada kedekatan pria itu dengan gadis lain justru membuat Syafa seolah menjadi istri yang tak pernah di anggap keberadaannya. Seperti halnya status dan hubungan mereka hanyalah sebuah pajangan yang cukup di ketahui keberadaannya.

"Jangan di dengarkan ustadzah."

Syafa menolehkan kepalanya mendengar suara seorang pria yang sangat dekat dengan telinga kirinya.

"Eh ustadz Farid. antum sudah sedari tadi di sini ?" Ucap Syafa seolah olah tidak terjadi apa apa untuk menyembunyikan resah hatinya.

"Tidak perlu menampilkan topengmu ustadzah, saya tahu bagaimana perasaan antum."

Syafa terdiam mendengar suara yang terucap dari lisan pria bertubuh tinggi itu.

"Sebelumnya maaf jika lancang, sebaiknya antum jangan terlalu sering hilir mudik di koridor ini. Jika ingin ke ndalem, lewatlah lapangan. Walau pun kulit antum terbakar panas matahari setidaknya hal itu tidak melukai hati antum." Ucap ustadz Farid. Salah satu ustadz yang terkenal akan keramahannya.

"Terimakasih ustadz sarannya." Ujar Syafa.

Ustadz Farid tersenyum mendengar ucapan wanita di hadapannya, "saya yakin Gus Abyan bukanlah pria yang lalai terhadap tanggung jawabnya, mungkin dia hanya perlu sedikit berkomunikasi dengan hatinya sendiri."

Hati Syafa membenarkan ucapan pria berkemeja hitam itu, Gus Abyan sudah di didik oleh Abi sedari kecil, semua ilmu tentang berumah tangga mungkin sudah melekat di dalam kepalanya.

"Saya permisi dulu ustadzah, semoga masalah antum lekas selesai. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Syafa mencoba kembali menenangkan hatinya, melawan segala perang batin yang selalu membuatnya kembali tak berdaya.

Kejadian siang itu benar benar membuat Syafa tak menyangka. Dia mengira setelah dirinya menghabiskan waktu bersama Gus Abyan hal itu akan membuat hubungannya semakin terlihat baik baik saja, bahkan dia berharap berkat hal itu ada sedikit cinta yang mulai tumbuh di hati suaminya.

Tetapi Syafa salah, momen menyakitkan lah yang setelah itu dirinya terima. Berturut turut Syafa menerima sifat acuh Gus Abyan yang seolah olah tidak menganggap keberadaannya.

Syafa memegang handle pintu kamar Gus Abyan dan mendorongnya pelan. Merebaklah minyak pewangi ruangan khas Gus Abyan di Indra penciumannya, membuat rindu rindu di hati Syafa kembali membuncah.

Di depannya terlihatlah sosok pria menggunakan baju kaos berwarna putih dengan kitab di pangkuannya. jantung Syafa berdetak hebat, takut dengan respon yang akan suaminya berikan.

"Assalamualaikum mas."

"Waalaikumussalam."

Syafa menghampiri suaminya sambil menadahkan tangan kanannya agar pria itu juga mengulurkan tangannya untuk dia salimi.

Tetapi bukan hal itulah yang Syafa dapatkan, suara kitab yang di tutup sangat kuat dengan deritan kursi yang sangat nyaring menyapa telinganya. Gus Abyan berjalan menuju pintu, membukanya dan menutupnya agak keras.

Mata Syafa memanas, berusaha mati matian menahan air matanya agar tidak jatuh. Hatinya seakan remuk melihat Gus Abyan yang bahkan tidak ingin tersentuh sedikit pun.

Syafa bertanya tanya, sebenarnya status apa yang pas untuk dirinya saat ini. Seorang istri yang tidak di anggap kah ? Sebutan itu terdengar sangat menyakitkan untuknya.

Pandangannya jatuh pada ranjang yang terlihat semakin dingin. Bayangannya memutar ulang bagaimana Gus Abyan memeluknya sangat hangat membuat Syafa terasa terbuai. Sejak itu dia tidak pernah meragukan Gus Abyan, dia percaya bahwa suaminya bisa mencintainya walau membutuhkan waktu yang lama. Tetapi melihat bagaimana suasana yang terjadi saat ini justru membuat Syafa seolah ingin melepaskan pria itu. Mengikhlaskannya agar dia bahagia dengan gadis yang bertahta di hatinya.

Assalamualaikum GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang