43. Maaf dan Terimakasih

3.4K 228 24
                                    

Tepat setelah kepulangan kiyai Halim dan istrinya, Abyan kembali menuju ruangan Syafa setelah mengantar kedua orang tuanya sampai di mobil. Tak banyak yang bisa Abyan lakukan selain duduk di sebuah kursi panjang yang berada di depan ruangan itu.

Bukan Abyan tidak perduli, pria itu hanya terlalu canggung untuk memulai interaksi kembali bersama Syafa setelah beberapa kali wanita itu meminta dirinya untuk keluar dari ruangannya.

Selama ini Abyan hidup di suasana pesantren dengan seluruh orang yang menunduk hormat padanya, hingga akhirnya ketika dirinya kini terabaikan hal itu membuat Abyan benar benar tidak tahu harus berbuat apa.

Suara decitan dari dalam sana membuat Abyan spontan berdiri dan memperhatikan wanita itu dari kaca pintu. Dari sini ia bisa dengan jelas melihat semua yang sedang wanita itu lakukan tanpa pengusiran halus yang selalu terucap dari bibir tipis kemerahan itu.

Entah sampai kapan wanita itu terus mendiaminya seperti ini, bahkan seutas senyum pun seakan tak ikhlas ia berikan untuk Abyan.

Abyan menghela nafas berat, ia kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kursi dengan kedua siku yang bertumpu pada lututnya sambil memegang kepala.

"Mas Abyan, apa mas di luar ?"

Suara itu membuat Abyan kembali duduk tegak, matanya berkedip berkali kali karena sedikit tidak menyangka.

"Jika mas Abyan memang diluar, masuklah Syafa ingin bicara."

Jantung Abyan berdetak kuat, segala kemungkinan kini memutari kepalanya. Apakah wanita itu memintanya mengurus surat cerai ? Tidak, Abyan tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Dengan perlahan Abyan membuka pintu dan masuk dengan ragu ke dalam ruangan itu. Entah apa yang akan wanita itu sampaikan padanya namun apa pun itu Gus Abyan siap mendengarkannya walau mungkin dirinya belum tentu akan menyetujui semua keputusan Syafa.

"Duduk di sini mas."

Aku mendongakkan kepalaku menatap tepat pada manik mata wanita itu sembari perlahan menuju kursi di samping tempat tidurnya.

Aku duduk dengan jantung yang semakin berdebar, aku tak berani berucap sepatah kata pun sebab takut akan kembali melukai hati Syafa.

"Kenapa duduk di luar ?"

Nada bicaranya yang berubah menjadi lembut membuatku merasa sedikit lebih tenang, hal itu pun memberikanku kesempatan untuk menatapnya dengan jarak yang lebih dekat.

Ku tampilkan senyum tulusku untuknya, "tidak apa apa, hanya takut menganggumu saja."

"Mas."

Panggilan itu membuatku menatapnya semakin dalam, letupan di dadaku tampak bergemuruh disertai debaran tak karuan. Mata itu mulai melembut, tak ada lagi kilat amarah dan pandangan penuh kebencian yang kutemukan. Aku mulai berucap syukur meski belum ku ketahui apa yang akan wanita itu ucapkan.

"Syafa minta maaf dan terima kasih."

Dua kata itu sukses membuat mata Abyan tak berkedip. Baru saja dia mengatakan itu ? Apakah ini bukan mimpi di tengah malam ?.

"Maafkan Syafa sudah mendiami mas dan terimakasih sudah merawat Syafa sampai meninggalkan semua tugas mas di pesantren."

Aku masih senantiasa mendengarkan ucapannya, merekam dengan jelas hal yang terjadi di detik ini.

"Ayo kita perbaiki pernikahan ini supaya bisa jadi pernikahan yang lebih baik..." Jeda tiga detik, "itu pun jika mas masih berkenan." Lanjutnya.

Tanpa berlama lama aku langsung meraih tubuhnya dan mendekapnya erat. Kini rasa syukur sepenuhnya kuucapkan, akhirnya perjuanganku berbuah manis, akhirnya semua penyesalanku meluap dan pundakku terasa lebih ringan.

Assalamualaikum GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang