Brangkar itu terus berjalan membawa tubuh Syafa yang tak berdaya. Gus Abyan masih setia berada di sampingnya dengan mata yang masih basah karena air mata, bibir pria itu terus bergerak melafadzkan doa agar tuhan berkenan melindungi istrinya.
Sampailah di depan pintu ruang ICU yang membuat langkah Abyan terhenti karena seorang suster yang mencegahnya untuk ikut masuk. Kakinya lemas tak sanggup menopang tubuhnya, hingga akhirnya Gus Abyan merosot di depan ruangan yang menjadi saksi perjuangan Syafa.
Gus Abyan tak memperdulikan tatapan beberapa orang yang memandangnya, pakaiannya banyak menyisakan bekas darah segar milik Syafa yang sedikit demi sedikit mulai mengering, ia menyesali ucapannya yang membuat wanita itu menjadi seperti ini.
Masih ia ingat dengan jelas bagaimana seorang suster tadi memberi tahu keadaan Syafa pada seorang dokter, wanita itu hampir kehabisan darah akibat banyaknya darah yang keluar dari luka di kepalanya, denyut nadinya sempat lemah. Nafas Gus Abyan sempat tercekat saat suster lainnya berfikir bahwa Syafa tidak akan selamat sampai rumah sakit.
Namun syukurnya Syafa sangat kuat, ia masih bertahan sampai akhirnya tiba di ruangan bercat putih itu.
Setelah beberapa saat kemudian seorang dokter akhirnya keluar dari ruangan itu, Gus Abyan segera berdiri dan bertanya tentang keadaan istrinya.
"Pasien terkena cedera otak, beliau harus segera di operasi jika tidak nyawanya lah yang akan terancam."
Dunia Abyan seakan terguncang setelah mendengar ucapan dokter di hadapannya, mulutnya terkatup dan tak mampu mengeluarkan suara.
Beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki yang begitu cepat dan menghampiri Gus Abyan. Arkan yang saat itu baru datang mendorong tubuh Gus Abyan dengan kuat hingga menghantam dinding dingin itu.
Pria itu tak mampu memberi perlawanan, ia anggap itu semua adalah balasan untuknya atas rasa sakit yang selama ini Syafa rasakan.
"Kenapa Syafa bisa seperti ini Yan!" Bentak Arkan dengan wajah yang sirat kekecewaan.
"Kita antar Syafa ke pesantren baik baik Yan, terus kenapa pulangnya gak kamu sendiri yang nganter ke rumah." Ujar Arkan dengan suara yang mulai melemah, air mata pria itu mulai terjun membasahi pipinya setelah beberapa saat sebelumnya ia menahannya.
"Maaf bang." Ucap Gus Abyan menunduk penuh rasa bersalah.
"Astaghfirullah."
Arkan menghampaskan tubuhnya pada kursi yang berada di depan ruangan itu, ia memijit kepalanya perlahan akibat pening yang ia rasakan.
"Apa kata dokter Yan."
"Syafa harus segera operasi bang."
***
Operasi Syafa selesai sejak lima belas menit yang lalu, Gus Abyan yang kala itu baru datang setelah bermunajat di masjid segera masuk kedalam ruangan istrinya.
Ia pandangi wajah pucat milik wanita itu dengan mata yang masih setia memejam, lalu Abyan pun membacakan ayat suci Al Qur'an sembari mengelus punggung tangan Syafa.
Suara Abyan sedikit serak namun tak membuat pria itu berhenti. Hingga pintu ruangan itu terbuka barulah Abyan menutup kitab suci itu dan segera mencium punggung tangan ayah Syafa dan ibunya.
Abyan terus meminta maaf pada ayah Syafa karena telah lalai dalam tanggung jawabnya, rasa bersalah itu semakin besar saat melihat respon kedua orang tua istrinya yang memberikan senyuman padanya sembari mengelus punggungnya untuk menyalurkan kekuatan.
Ucapannya sudah amat menyakitkan terhadap wanita yang sedang terbaring lemah itu, Abyan ingin sebuah kata kasar lah yang keluar dari lisan pria paruh baya itu agar rasa bersalah di dalam diri Abyan sedikit berkurang, namun ternyata mertuanya itu sungguh memiliki hati yang begitu lapang.
"Sudah nak, tak perlu banyak meminta maaf. Jadikan ini sebuah pelajaran, lain kali didiklah istrimu dengan ilmu yang sudah kamu dapatkan. Anggap saja ini memang musibah dari yang maha kuasa." Ucap bunda Syafa, mertuanya.
Gus Abyan memeluk wanita itu, ia sangat bersyukur memiliki mertua sebaik mereka.
"Bunda bawakan makan sama baju untuk kqmu, kamu bersih bersih dulu ya habis itu makan. Jangan sampai kamu ikutan sakit." Ucap wanita itu sembari mengelus lengan Gus Abyan.
Tepat dipukul sembilan malam, orang tua Syafa pamit pulang. Abyan kembali duduk di sisi istrinya menemani sembari melihat kondisi wanita itu lewat monitor.
Kantuk tak sedikit pun menyerang Abyan, matanya terus mengarah pada monitor itu. Takut jika sang istri meninggalkannya, Abyan tidak mau kehilangan wanita itu lagi sudah cukup semua rasa bersalahnya ini, dia ingin wanita itu cepat sadar dan menebus semua kepahitan yang istrinya rasakan selama ini.
***
Selama seminggu ini Abyan setia menemani istrinya yang sudah dipindah keruang rawat inap, Syafa sudah melewati masa kritisnya dan kini keadaannya sudah lumayan membaik.
Pada awal kejadian kejadian kemarin adiknya Aisyah bahkan dua hari tak mau berbicara pada Abyan, gadis itu benar benar marah dan kecewa pada perlakuan abangnya, hingga di hari ketiga akhirnya Aisyah mulai mau berbicara dan sesekali mengantarkan makanan untuk Abyan.
Setiap pagi Abyan selalu membersihkan tangan, kaki dan wajah istrinya dengan hati hati. Setiap malam ia selalu membacakan ayat suci Al Qur'an untuk Syafa dan ia melakukan itu dengan hati ikhlas.
Dengan lapang Abyan mengikhlaskan Marwa dan mencoba mengisi hatinya untuk wanita itu.
"Assalamualaikum"
Abyan menolehkan kepalanya mendengar suara itu bersamaan dengan suara pintu yang terbuka, ia kemudian berdiri dari duduknya dan menghampiri gadis itu.
"Gimana mba Syafa bang ?"
"Alhamdulillah lebih baik, minta doanya aja semoga cepet sadar."
Aisyah memandang abangnya iba, masih ada rasa kesal di dalam hatinya namun melihat bagaimana ketulusan abangnya menjaga istrinya membuat Aisyah merasa sedikit terharu.
Ia yakin abangnya itu memiliki hati yang lembut, tak mungkin sampai hati pria itu membiarkan istrinya terbaring lemah di atas brankar sebab kesalahannya sendiri.
"Makan dulu, Aisyah bawain makanan kesukaan Abang." Ujar Aisyah sembari menyodorkan rantang makanan yang ia bawa.
Abyan tersenyum dan mengambil rantang berisi nasi itu. Ia mengelus kepala adiknya lembut sebelum gadis itu berjalan dan duduk di tepi tempat tidur Syafa.
"Aisyah mau Abang berubah, cukup jadikan musibah ini pelajaran buat Abang. Jangan sia siakan wanita setulus mba Syafa."
"Bahkan orang yang Abang cintai pun belum tentu memiliki hati setulus mba Syafa."
Abyan terdiam mendengar ucapan gadis itu. Ia malu, malu sebab dinasehati oleh adiknya sendiri. Abyan seakan menjadi manusia yang kurang ilmu padahal sedari kecil ia sudah di didik sangat baik oleh sang Abi.
Pria itu, Abyan tak bisa membayangkan seberapa besar rasa kecewanya untuk dirinya. Bahkan ia hanya bisa terdiam tak berani berucap sepatah kata pun saat sang Abi menjenguk Syafa kala itu.
___________________________
Maaf ya kalau part ini kurang maksimal
Author pengen chapter yang uwu uwu nih, gak sabar bikin baper kalian😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Gus
Teen FictionBila nanti lisanku tak sampai untuk mengatakannya biarkanlah tulisan ini yang menjadi pengungkap disegala cerita. "Aku memperjuangkanmu Bahkan sebelum aku menemukanmu Tak henti hentinya kuterbangkan namamu dalam langit doaku Aku berharap Semoga tuha...