Dari sebuah buku aku belajar untuk berani melangkah, karna kita tidak tau bagian bab mana yang besok akan kita hadapi, sedihkah ? Sulitkah ? Bahagiakah ? Namun dari semua ini aku yakin kebahagiaan akan menjadi ending terindah dalam hidup, tak perlu menyulitkan diri memikirkan yang tak perlu dipikirkan, cukup jalani dan ikuti alur waktunya.
Jika saat ini kamu berada di titik terendahmu dan merasakan duniamu sangat runyam, cobalah untuk bangkit dan jangan pernah merasa takut, selalu ingatlah sesulit apa pun keadaanmu ada orang yang lebih sulit keadaannya namun dia belum menyerah.
Kita tidak tau rencana apa yang tuhan persiapkan di kehidupan kita, jadi jangan pernah menyerah, agar kamu tau kisah apa yang selanjutnya ada dalam hidupmu.
Saat ini aku berada di salah satu toko buku favoritku, tempat ini luas dengan berbagai buku yang menggoda mata, tempatnya juga nyaman dengan pelengkap kursi dan meja yang sama nyamannya, hingga akhirnya sebuah tepukan pelan dibahuku mengalihkan fokus ku.
"Sya."
Aku menolehkan kepalaku dan menemukan seorang gadis dengan satu buku di tangannya "Udah nemu bukunya ?
Dia adalah Marwa, sahabatku. Kami bertemu saat awal kuliah 4 tahun yang lalu, gadis cantik dengan wajah bulat dan hidung mancung.
"Alhamdulillah sudah, kamu mau beli buku yang mana ?"
Aku menggelengkan kepalaku, "belum pengen beli sih, bacaanku di rumah masih ada, ya udah kita langsung ke kasir aja."
Kami pun berjalan menuju ke arah kasir berada untuk membayar buku pilihan Marwa. Sebenarnya kami ini memiliki hobi yang sama, yaitu membaca novel, yang berakhir dengan jejeran buku novel di kamar kami.
Sesudah membayar, kami pun langsung keluar dari toko buku tersebut dan menuju mobilku yang ku parkirkan tepat di halamannya, setelah kami sampai dan duduk dengan tenang, mobil pun mulai berjalan pelan membelah kota di tempat kelahiranku ini.
"Sya, setelah ini kamu mau lanjut kuliah atau kerja ?" tanya Marwa.
"Belum tau wa, aku pengennya lanjut kerja, tapi aku juga belum nanya nanya lagi sama ayah bunda."
"kalau kamu gimana ?" Tanyaku.
"InsyaAllah kerja juga Sya, cuma belum nemu tempat kerja yang sesuai keinginanku." jelasnya.
Aku dan Marwa adalah teman sekelas yang berarti dia juga sama mengambil jurusan tarbiyah dan ilmu keguruan, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mengambil pekerjaan menjadi guru, hanya saja kami memerlukan tanggung jawab dan rasa sabar yang besar, bagiku juga menjadi guru adalah pekerjaan yang sangat mulia, dimana kita bisa memberikan ilmu yang selama ini kita dapatkan untuk mereka agar bisa berjuang di masa depan.
Tak terasa akhirnya kami pun sampai di halaman rumah milik Marwa, rumah bertingkat dua yang sangat menyejukkan karena tamannya yang sangat indah dilengkapi pepohonan yang membuat suasananya tampak rindang.
"Kamu tidak mampir dulu ?"
"Sudah sore, aku pulang aja ya takutnya nanti macet di jalan."
"Oh oke, makasih Sya udah mau nganter hati hati di jalan."
"Iya Marwa, ya sudah aku pulang ya, Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." ucapnya diiringi tangannya yang melambai padaku.
Aku kembali melajukan mobilku menuju rumah, namun sebelum itu aku ingin singgah di toko kue langganan bundaku, aku ingin memberikan wanita hebat itu kue kesukaannya dan melihat matanya berbinar indah saat melihat kue tersebut.
***
Berkumpul bersama keluarga mungkin bagi sebagian anak adalah hal yang sangat menyenangkan, namun juga tak jarang sebagian anak menghindari hal itu.
Setelah makan malam selesai, rutinitas di keluargaku adalah berkumpul bersama di ruang keluarga, menonton tv bersama dengan diselingi tawa yang terkadang menyapa.
Ayah dan bunda duduk berdua di kursi yang memang khusus untuk dua orang, dan aku duduk di kursi panjang yang muat hingga tiga orang, dengan abangku yang menyimpan kepalanya di atas pahaku, ini sudah kebiasaannya saat sedang menonton tv aku pun tidak masalah dengan kebiasaannya itu, karna di luar sana sangat jarang ada seorang adik dan kakak yang akur ketika bersama, apakah kalian salah satunya ?
Abangku bernama Arkan, umurnya 25 tahun, dan masih melajang hingga saat ini, dia tampan, kulit wajah putih bersih, senyum manis dengan dihiasi gigi ginsul di sebelah kirinya dan memiliki hidung yang mancung, disetiap aku bertanya padanya kenapa masih sendiri saja, dia selalu menjawab "nanti abang akan menikah jika kamu sudah menikah, tanggung jawab abang sekarang adalah menjagamu" manis bukan ?.
"Oh iya ada yang ingin ayah dan bunda bicarakan pada kalian." ucap ayah yang membuatku dan bang Arkan sontak menoleh pada pria paruh baya itu.
"Apa yah ?" tanyaku padanya.
"Rencananya besok ayah dan bunda mau berkunjung ke rumah kiyai Halim, Syafa dan Arkan wajib ikut ya." ujarnya dengan nada perintah.
Mataku berkedip berkali kali dengan mulut yang sedikit menganga, jantungku berdebar dengan irama yang tak normal, apa aku tidak sedang bermimpi saat ini ? Ekspresiku sangat berbeda jauh dengan bang Arkan yang tampak sedang berfikir itu.
"Kiyai Halim yah ? Sepupu nenek ? Yang punya pesantren itu ?" tanyaku bertubi dengan dijawab anggukan dan senyuman oleh ayah.
"Kenapa dadakan ?"
"Sebenarnya tidak dadakan cuma ayah baru ingat kalau kami belum mengatakannya pada kalian." kini bunda yang menjawabnya dengan terkekeh saat melihat ekspresi wajahku yang terlihat kaget.
Apakah kalian tau siapa kiyai Halim ? Ya, dia adalah abi dari gus Abyan, bagaimana aku bisa bersikap biasa saat ini ? Seketika bayangan jika kami bertemu pun berputar di kepalaku, gus Abyan sudah boyong satu tahun yang lalu, jadi bisa kalian simpulkan bahwa saat ini tentu saja dia pasti ada di tempat kelahirannya bukan ?
"Rencananya kapan yah perginya ?" tanya bang Arkan yang membuat lamunanku buyar.
"Besok."
"Apa ? Besok yah ?" tanyaku kaget.
Jantungku berdetak kencang, tanganku gemetar dan lidahku mulai kelu, ku ingat kembali bagaimana percakapan memalukanku bersama Gus Abyan dahulu, aku juga mengingatnya dengan jelas bagaimana sifat kekanakanku masa itu.
"Ya Rabb kenapa besok ?" batinku menjerit.
"Besok Arkan gak bisa yah, ada meeting penting di kantor."
Apakah aku harus mencari alasan juga agar tidak ikut bersama mereka ? Agar tidak bertemu Gus abyan lebih tepatnya ?.
"Ya sudah Syafa saja besok yang ikut."
Aku menatap ayah dengan horor, sepintas bayangan Gus Abyan mulai mengelilingi isi kepalaku, memberikan efek semburat merah tepat di kedua pipiku yang chaby.
"Tapi yah." ucapku menggantung.
"Kenapa ?" tanya ayah dengan kedua alisnya yang terangkat.
Ku gelengkan kepalaku cepat, "Gapapa yah, oke besok Syafa ikut kesana" ucapku lesu.
Aku teringat pertama kali bagaimana Gus Abyan yang selalu membalas pesan pesanku dengan bercanda, hingga membuatku tak jarang merasa kesal namun juga tak pernah bosan.
Aku rindu ketika semua hal tentang Gus Abyan mewarnai hari hariku, suaranya yang serak saat bangun tidur ketika dirinya memintaku membangunkannya, semua masih melekat indah tanpa mau kulupa.
Semua balasan pesan yang berawal sapa dari Syafa hingga ucapan perpisahan dari Gus Abyan masih ia simpan, hanya itu kenangan yang tersisa, yang masih menghadirkan tawa saat sesekali Syafa membacanya.
Malam ini kurasakan lagi debar yang sama saat pertama kali aku ingin menyapa Gus Abyan, debar yang membuatku menggila, yang tak akan pernah dimengerti oleh siapa pun.
Semoga kalian suka dengan cerita ini, maaf jika berantakan dan banyak kekurangan dalam pemilihan kata.
Ig:dyana.27
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Gus
Novela JuvenilBila nanti lisanku tak sampai untuk mengatakannya biarkanlah tulisan ini yang menjadi pengungkap disegala cerita. "Aku memperjuangkanmu Bahkan sebelum aku menemukanmu Tak henti hentinya kuterbangkan namamu dalam langit doaku Aku berharap Semoga tuha...