Bab 3

11.2K 1.3K 194
                                    

Tinggalkan jejak!  Vote dan komen

Follow juga ndess..

***

Malam telah begitu larut. Udara dingin di pukul dua dini hari mampu menembus lapisan pakaian hingga membuat tubuh menggigil kedinginan. Tetapi tidak begitu buruk karena langit yang membentang luas kini ditaburi berjuta-juta bintang yang berkilat di tengah kegelapan.

Brianna mengusapkan telapak tangannya pada lengan guna mendatangkan rasa hangat kemudian bersedekap dada. Ekspresi wajahnya datar. Tatapannya lurus mengarah pada bangunan yang hanya terlihat atapnya saja. Kediaman Ibu Suri.

Waktu berjalan dengan semestinya, namun entah kenapa terasa sangat cepat. Mungkin karena menjalaninya dengan hati yang terasa ringan.

Sudah dua bulan berlalu dari hari pembahasan tentang selir dikemukakan dan besok adalah hari keputusan untuk tindakan selanjutnya.

Brianna melepaskan tautan tangannya yang sejak tadi bersedekap. Perlahan turun lalu mulai mengusap perut ratanya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana karena ia memang tidak sedang mengandung. Itu artinya ... keputusan Raja besok pagi sudah sangat jelas. Dan Brianna adalah orang pertama yang tahu sebab kehamilannya adalah penentunya.

"Anna.."

Brianna tidak menoleh. Ia larut dalam keheningan yang dibuatnya. Namun, saat jubah hangat menyelimuti tubuhnya disusul dekapan erat dari belakang membuatnya kembali tersadar.

"Kenapa belum tidur?" Brianna menggelengkan kepalanya.

"Kau memikirkan hal itu?" tanya Albern hati-hati.

"Yang Mulia.." Brianna melepaskan diri lalu membalikkan tubuhnya menghadap Albern. "Saya tidak hamil."

Albern menghela nafas berat. Wajahnya terlihat kuyu, nampak jelas bahwa ia sedang banyak pikiran. Tetapi mendapati wajah istrinya yang masih biasa saja bahkan saat mengatakan hal penting itu membuat Albern sedikit tergugu. Apakah Brianna tidak merasa keberatan?

"Anna, dengarkan aku," pinta Albern dengan tangan memegang kedua pundak wanita itu. "Aku masih bisa mengusahakan pembatalan tentang selir itu. Kau tahu aku tidak membutuhkannya."

"Ya, Yang Mulia. Tetapi kerajaan ini membutuhkannya."

"Hanya masalah waktu, Anna. Aku akan membatalkannya untukmu!" tukas Albern tegas.

Brianna bergeming. Untuk saat ini, ia masih gamang untuk menanggapi situasi ini. Biarpun ia tidak setuju, apakah keputusannya dipandang penting? Tentu saja tidak. Ia benar-benar merasa terpojok.

Wanita itu mendengus, sedikit merasa lucu bahwa kehamilannya dijadikan tolak ukur untuk sesuatu.

Albern menarik Brianna ke dalam pelukannya. Mendekap erat wanita yang selama ini selalu menemaninya. "Balas Anna," rengek Albern karena Brianna masih saja diam.

Brianna mendengus geli. Tangannya kemudian terangkat membalas pelukan suaminya, menepuk punggungnya pelan. Kepalanya menggeleng lemah di lingkup dada Albern, merasa bahwa posisi mereka tertukar. Seharusnya ia yang butuh pelukan, bukan malah sebaliknya.

Brianna tidak tahu saja. Bagi Albern pun, ini sama beratnya.

***

"Bagaimana keadaanmu, Anna?" tanya Patricia sedikit mengejek. Patricia bahkan dengan berani menyebutkan panggilan tanpa embel-embel apapun.

Namun sayang hal itu tidak berhasil memprovikasi Brianna. Wanita itu terlihat tenang menikmati pemandangan taman di depannya.

Ya, mereka berdua memang tengah berbincang di taman bunga yang berada di kawasan kediaman Raja dan Ratu. Hari masih sangat pagi, tetapi Brianna sudah menerima tamu. Tidak diundang.

Queen of ArtantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang