Bab 2

13.3K 1.3K 86
                                    

Ngakak bacain komennya wkwkkw
Gasss ndess gasss

***

Di antara banyaknya kegiatan yang harus ia lakukan, Brianna lebih menyukai segala aktivitasnya dalam mengurusi akademi militer kerajaan. Alasannya sangat jelas. Selain menyukai dunia kemiliteran, Brianna juga menyukai anak-anak.

Di akademi, Brianna bisa menghabiskan waktunya untuk mengembangkan minatnya pada dunia militer, juga mengamati perkembangan anak-anak yang menjadi murid di sana.

Bukan hanya sekedar menyukai, sejak setahun lalu bahkan dirinya membuka kelas pertama untuk putri bangsawan dalam kategori anak-anak yang mau belajar memanah sepertinya. Meski awalnya gagasannya tersebut mendapat tentangan dari para dewan istana, Brianna sama sekali tidak menciut. Apalagi idenya sangat diapresiasi oleh Albern selaku Raja. Sejak saat itu, kelas memanah untuk anak-anak perempuan resmi dibuka. Tetapi sebagai konsekunsinya, Brianna harus bersedia menjadi penanggung jawabnya.

Seperti hari ini, selepas memantau kelas memanah yang rutin dilakukan tiga kali dalam kurun waktu satu minggu, Brianna memilih beristirahat di sebuah bangunan kecil di pinggir lapangan tempat murid laki-laki tengah belajar memanah.

Meski menyadari keberadaannya, latihan mereka sengaja tidak dihentikan. Apalagi hanya sekedar untuk memberi hormat. Itu karena Brianna tahu bahwa membangun konsentrasi pada sesuatu sangatlah sulit. Hal itu pun sudah ia tegaskan bahwa tidak  memberikan hormat padanya di akademi militer boleh dilakukan selama masih dalam masa latihan.

"Maria, bisakah kau menyingkir sebentar?" titahnya pada salah satu pelayan pribadi yang paling dekat dengannya saat melihat seorang wanita yang sangat ia kenal tengah berjalan mendekat padanya. Dengan sigap, Maria beserta kawan-kawannya pun menyingkir sedikit jauh dari posisi sang Ratu.

"Salam hormat, Yang Mulia Ratu.."

"Hm."

"Bolehkah hamba meminta waktu sebentar untuk sekedar berbincang?" tanya wanita itu masih dengan kepala menunduk.

Brianna berdecak. "Duduk saja, Kak."

Wanita itu diam-diam menggerutu, tetapi tetap menurut untuk duduk di sebelah sang Ratu. "Setelah kau menjadi Ratu, situasi menjadi sangat rumit bahkan untuk sekedar mengobrol," gerutunya pelan.

Brianna menoleh malas. Apanya yang rumit? Wanita itu bahkan masih bisa bebas mengomel di depannya.

"Sedang apa Yang Mulia di sini?"

"Menemanimu berbincang," sindir Brianna tak minat.

"Hahaha.. kau baik sekali."

Wanita yang duduk di sebelahnya menunjuk ke arah lapangan tempat anak-anak yang sedang berlatih. "Bukankah laki-laki itu sangat tampan?"

Brianna menghela nafas. Mencoba bersabar karena waktu bersantainya harus terganti untuk meladeni sepupunya yang sangat sangat sangat aktif berbicara. "Ya," jawabnya singkat.

"Siapa namanya, Anna?"

Di sinilah peran Brianna dibutuhkan. Dia harus menyingkirkan para pelayan dari sisinya agar sang kakak sepupunya bisa bebas berceloteh padanya.

"Kenard Gilson."

"Ya, benar. Dia suamiku." Catrionna cekikikan saat melihat raut wajah Brianna mengeruh. "Kau duduk di sini bukan untuk melihatnya, bukan?"

"Aku sudah bersuami," jawab Brianna datar.

Catrionna berdecak lalu menggelengkan kepalanya. "Aku masih tidak percaya bahwa suamimu seorang Raja. Apakah dia tahu dulu kau pernah mengompol saat kugendong?"

"Kak.." jengah Brianna.

Catrionna tersenyum lembut. Wanita itu memilih diam dan mengamati Brianna yang telah memfokuskan pandangannya ke depan. Tangannya sudah gatal ingin mengelus rambutnya, tetapi tidak mungkin ia lakukan karena kini mereka sedang di ruang publik. Catrionna tahu adik sepupunya itu tengah banyak pikiran, terutama tentang Raja yang diusulkan untuk menikah lagi.

Meski sudah beranjak dewasa, Brianna di mata Catrionna masihlah gadis kecil yang dulu pernah ia gendong. Brianna masihlah gadis kecil yang jarang menangis, tetapi langsung menangis dan merengek saat ia bercerita bahwa pernikahannya dengan Pangeran Albern kala itu telah ditetapkan. Gadis itu tahu bahwa pernikahannya hanya sekedar untuk kepentingan politik.

Kenapa Brianna? Catrionna sangat tahu alasannya. Apalagi jika bukan karena bangsawan Arches yang telah menjalin hubungan erat dengan para petinggi perbatasan utara lewat pernikahannya dengan Kenard. Dengan ini, keberadaan Brianna di istana bisa sedikit menurunkan atensi para petinggi perbatasan utara pada istana. Selain itu, orang tua Brianna, adik dari ayah Catrionna, Herwyn Arches adalah pengusaha senjata perang yang paling maju di kerajaan. Bukankah Brianna adalah pilihan yang tepat bagi Pangeran Albern pada saat itu?

"Aku sudah mendengarnya," ujar Catrionna.

Brianna memilih diam. Dia sudah tahu apa yang akan Catrionna bicarakan padanya. Apalagi jika bukan rencana Raja untuk menikah lagi? Brianna rasa berita itu sudah menyebar luas ke penjuru kerajaan. Mungkin saja saat ini para putri bangsawan tengah bersuka cita sembari mempersiapkan dirinya diam-diam.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Catrionna tak menyerah. "Anna?"

Brianna mengendikkan bahunya. "Memangnya aku bisa apa dalam waktu dua bulan?"

"Jadi kau menerima usulan itu?"

"Ya, lagipula aku dan Yang Mulia sudah cukup berusaha selama ini."

Catrionna berdecak mendengarnya namun tidak dipungkiri hatinya ikut resah. "Kau ingin kueku, Anna?" tawarnya mencoba menghibur.

Brianna mendengus. "Tidak perlu, rasa kue asinmu sudah melegenda."

"Hei! Kau dengar gosip dari mana itu!" pekik Catrionna tak terima.

Brianna terkekeh. Satu lagi alasan kenapa ia suka menghabiskan waktunya di akademi. Ya, karena di tempat inilah ia bisa bertemu kakak sepupunya itu untuk sekedar berbagi cerita.

***

Di lingkuan istana lainnya, lebih tepatnya tempat kediaman Ibu Suri Patricia, aroma teh hijau menguar pekat ke segala penjuru ruang penerima tamu.

"Sampai mana perkembangannya?"

Asthon Heroes lebih dulu meraih cangkirnya, menyesapnya sedikit lalu tersenyum tipis. Tangannya dengan perlahan meletakkan cangkir tersebut kembali ke tempatnya. "Saya sudah berhasil meyakinkan para dewan istana lainnya. Hanya masalah waktu saja."

Patricia tersenyum miring. "Apakah Raja menyutujuinya?"

"Ya," jawabnya singkat. "Yang Mulia Ratu bahkan terlihat tidak keberatan."

"Sudah seharusnya begitu! Kerajaan ini lebih butuh penerus dari pada kehadirannya," dengus Patricia sinis.

Bagi Patricia, Brianna sangat tidak berguna. Bukan karena tidak bisa melakukan apa-apa, tetapi karena wanita itu tidak mau tunduk padanya. Patricia butuh sosok yang bisa membuat posisinya aman di dalam istana. Apalagi sejak ditangkapnya sang mantan Putra Mahkota, Alberto, anaknya. Dan untuk itu semua, Patricia harus berusaha meyakinkan Asthon Heroes untuk berada di pihaknya.

"Bagaimana dengan calon selir, Yang Mulia?" tanya Asthon Heroes memastikan.

Patricia mengibaskan tangan. Raut wajahnya terlihat tidak senang. "Itu bukan urusanmu."

Asthon Heroes terdiam. Kedua jemarinya saling bertaut, meremas satu sama lain.

"Aku yang akan menyiapkannya. Kau cukup diam dan tunggu saja!" titah Patricia.

Tbc.


Konfliknya bakal ringan, kok.

Percaya deh hahahahaaa

Queen of ArtantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang