Bab 14

5.4K 262 64
                                    

Senyum dulu donggg



Kasus terhentinya pasokan senjata di berbagai tempat seperti halnya yang terjadi di akademi militer, perbatasan utara dan sekitarnya, membuat Brianna memposisikan diri dengan tegak. Raut wajahnya juga terlihat sedikit menegang. Namun, berbeda dengan sang istri, Albern cukup pandai menyikapi keadaan tersebut. Alih-alih memperlihatkan kekhawatiran, ia justru duduk merapat ke arah Brianna.

Brianna bergeser sedikit, alisnya melonjak heran.

Tetapi, itu hanya sebuah kesia-siaan karena Albern kembali mendekatinya. Menyadari tingkah sang suami, Brianna memilih menyerah dan memalingkan wajah ke depan. Ia berusaha mentolerir saat Albern mulai bertingkah dengan menyender padanya, menciumi pundaknya, termasuk menahan tangannya sekuat tenaga untuk tidak mendorong kepala lelaki itu yang tengah menyusupkan wajahnya ke ceruk lehernya.

"Bisakah kita duduk dengan posisi normal?"  celetuk Brianna dengan helaan nafas berat.

Albern tergelak santai. Tangannya lekas mengapit lengan Brianna sehingga wanita itu tidak bisa ke mana-mana. "Tidak bisa," kata Albern dengan nada mengejek.

"Yang Mulia, kita akan membahas sesuatu yang sangat penting. Mohon pengertian, Yang Mulia." Percuma saja, aksi protes Brianna tidak digubris sama sekali. Lelaki itu malah tengah mengulum bibir, menahan senyum geli.

"Aku bukannya sedang rapat dengan dewan istana, Anna. Jadi tidak perlu posisi duduk tegak seperti itu. Mohon pengertiannya, ya," kata Albern enteng. "Mari kita bahas satu-persatu. Dimulai dari, apakah nanti malam kita bisa menghabiskan waktu bersama?"

Brianna menipiskan bibir. Segala ucapan protes sudah di ujung lidah, namun ia memilih menahan diri. "Bagaimana mungkin saya menolak, YANG MULIA?"

"Itu bagus." Albern terkekeh. "Kedua, bagaimana jika dimulai dari sekarang saja?"

Albern tertawa saat Brianna mulai melototi dirinya. Tangannya terulur, mengusap pipi istrinya yang memerah karena kesal. "Kali ini serius. Akan lebih baik jika diawali dengan sebuah ciuman."

"YANG MULIA!"

Brianna sudah tidak tahan lagi. Tangannya dengan segera mencubit pinggang Albern yang sedang tergelak kencang dan membuat lelaki itu meringis, lalu terkekeh lagi. Wajahnya tampak amat puas saat melihat raut wajah sang istri tengah frustrasi.

"Aku serius," kata Albern.

Mengepalkan kedua tangannya, Brianna menekan rasa kesal di hati dengan menghembuskan nafas panjang. Wajahnya berpaling ke sebelah karena Albern masih menyender di pundaknya. Tangannya terulur memegang sisi wajah sang suami, mengelusnya dengan lembut sebelum mendaratkan kecupan singkat.

"Indahnya dunia," gumam Albern. Laki-laki itu tersenyum lebar, kemudian mulai duduk dengan tegak, namun posisi tubuhnya menyerong ke samping menghadap ke arah Brianna. "Sampai di nomor berapa kita, Anna?" tanyanya dengan ekspresi jahil.

"YANG MULIA!"

Albern tertawa lagi. Menyadari bahwa kali ini rasa kesal Brianna telah memuncak, terlihat dari matanya yang mulai berkaca-kaca, ia dengan sukarela mengangkat tubuh Brianna dan meletakkannya di pangkuan. "Jangan menangis. Aku hanya bercanda saja."

Karena tidak ada tanggapan, Albern semakin mendekap hangat Brianna dan menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. "Aku hanya ingin menghabiskan hari dengan benar denganmu, Anna. Apakah kau keberatan dengan sikapku?"

Brianna menggeleng pelan.

"Jadi aku sudah termaafkan?" Brianna mengangguk. Karena merasa gemas, Albern menggigit telinga Brianna sekilas. Lelaki itu mulai serius saat lagi-lagi dipelototi oleh sang istri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Queen of ArtantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang