Bab 11

2.8K 250 51
                                    

Jangan lupa nyengir








Pagi-pagi sekali, saat udara masih terasa lembab, terdengar suara derap kaki kuda menghentak mendekati gerbang istana. Dengan wajah terkantuk-kantuk, dua pengawal yang berdiri di masing-masing sisi gerbang menyiapkan pedangnya.

Ketika suara derap kaki kuda tersebut semakin jelas terdengar, kini nampaklah para penunggang kuda dengan laju yang perlahan mulai menurun. Para pengawal dengan sigap mencegat untuk dimintai keterangan, hal penting apa yang membuat sang penunggang kuda tersebut memasuki istana.

"Kami utusan dari petinggi perbatasan Utara. Ada hal mendesak yang harus kami sampaikan kepada Raja Albern." Setelah mengutarakan niatnya, dua pengawal yang bergiliran berjaga langsung membuka pintu gerbang. Apalagi kedua utusan itu menunjukkan tanda pengenal dari petinggi perbatasan Utara.

"Sebenarnya ada apa?" Salah satu penjaga gerbang masih menatap lekat utusan dari perbatasan Utara yang sosoknya masih terlihat. Setelah kedua penunggang kuda itu hilang tertelan jarak, ia menolehkan kepala pada temannya. "Tumben sekali."

"Pasti ada sesuatu yang penting. Perbatasan Utara tidak akan melibatkan istana jika itu masih masalah sepele."

"Benar sekali." Kepalanya mengangguk, dan menyimpan pedangnya lagi. "Kuharap tidak ada keributan seperti lima tahun lalu."

Penjaga lain yang mendengar celetukan temannya terkekeh geli. "Hei ... tidak usah melantur. Pangeran Alberto bahkan sudah terusir dari wilayah kerajaan. Dia sekarang adalah seorang gelandangan."

"Siapa yang tahu?"









*******












Brianna tengah meminum teh di taman ketika Maria mendekat dan mengabarkan kedatangan Ibu Suri. Maria mengatakan bahwa kunjungan kali ini dalam rangka sang Ibu Suri yang menginginkan sebuah jamuan teh bersama di sore hari.

Brianna bergeming. Tidak menyambut kedatangan sang Ibu Suri. Tingkahnya itu tidak mengkagetkan para pelayan mengingat gosip tentang tidak akurnya hubungan keduanya telah menyebar ke seluruh istana. Meskipun begitu, ia tidak terlalu peduli. Yang ia pedulikan sekarang adalah ingin segera masuk ke kamarnya lalu membersihkan diri dan berganti pakaian. Sehabis pulang dari akademi militer, Brianna tidak langsung masuk dan lebih memilih meminum tehnya sendirian di taman. Ia butuh ketenangan mengingat pengumuman calon selir akan resmi diumumkan nanti malam.

Ia tertinggal jauh, Brianna tahu itu. Ia sepenuhnya kecolongan. Kebingungan mencari letak kesibukan yang membawanya sejauh ini hingga tidak begitu menyadari berakhirnya seleksi calon selir. Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi?

Raut wajahnya keruh. Apalagi saat Ibu Suri tanpa permisi duduk di depannya dengan tersenyum lebar. Dia mengangkat tangan dan memerintah untuk membawakannya secangkir teh dengan seenak jidatnya.

"Sore yang sangat indah, Brianna. Langit tampak sangat cerah, awan mendung tak terlihat. Bagaimana mungkin alam begitu merestui akan kehadiran calon Ratu sesungguhnya di istana ini?"

Brianna mendengkus. Ia meletakkan cangkir tehnya dan ikut memperhatikan suasana sore hari yang begitu tenang. Terasa begitu syahdu. Brianna memejamkan matanya, menarik nafas dalam.

"Bagaimana ini? Aku tidak sabar menantikan malam akan datang dengan membawa harapan baru bagi masa depan Kerajaan Artanta yang terang-benerang."

Sementara Brianna masih bungkam, Patricia kembali berceloteh. Hatinya tengah berbunga, merekah mengembang dengan tinggi dan leluasa. Tidak ada yang lebih membahagiakan melihat posisi Brianna terjepit sedemikian rupa setelah lima tahun berlalu.

Queen of ArtantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang