Bab 6

3.7K 395 58
                                    

Senyum dulu donggg







Udara malam ini terasa dingin sekali. Awan kabut tampak terlihat lebih tebal membuat suasana malam begitu amat mencekam. Suramnya langit tanpa cahaya bintang dan bulan serta suara burung malam membuat Brianna menggigil.

Pesta makan malam yang selalu rutin diadakan tiga bulan sekali ini adalah hasil gagasannya. Ia sengaja mengusulkan ide ini kepada suaminya, Raja Albern, untuk mengundang para jajaran dewan istana dan beberapa orang berkepentingan untuk menyampaikan progres jalannya pemerintahan. Ia tidak menyangka, inisiatif yang ia harapkan dapat menampung keluh-kesah masalah kerajaan agar bisa mencari solusi bersama, terutama karena ia tidak pernah terlibat langsung sehari-harinya, kini dimanfaatkan untuk menerjang dirinya sendiri.

Brianna tersenyum amat tipis. Apapun itu, ia sangat anti menunjukkan bahwa dirinya merasa terintimidasi secara terang-terangan. Brianna sangat sadar harga dirinya terlalu tinggi, tetapi ia tidak keberatan untuk mempertahankannya.

Meskipun masalah kali ini mungkin saja membuat dirinya dipandang lemah, Brianna bertekad untuk mempertahankan sisa-sisa harga dirinya.

Selir? Brianna terkekeh. Otaknya yang terlalu realistis diam-diam mendukung gagasan itu. Namun, kemungkinan-kemungkinan ke depan yang bisa saja membuat posisinya terasingkan dan menggerus pengaruhnya, hal inilah yang akan Brianna usahakan.

Brianna merasa ia punya pondasi yang cukup kuat, baik dari internal dirinya sendiri maupun yang berasal dari dukungan orang luar.

Agenda makan malam yang disusupi niat untuk menjatuhkan dirinya ini akan ia hadapi dengan tenang dan penuh rencana juga. Brianna sudah menyiapkan rencana, setidaknya untuk membuat dirinya tidak terlihat lemah, ia tidak sudi.

Tetapi, hal yang membuatnya sedemikian resah hingga mengasingkan diri di balkon adalah kepastian atas keberhasilan rencana itu sendiri. Setelah menemui kepala sekolah akademi militer, Kenard Gilson, dan juga istrinya hari yang lalu, ia berterus terang meminta bantuannya. Brianna berharap rencananya akan berjalan dengan lancar.

"Anna ..."

Brianna menghela nafas. Menarik ujung bibirnya membentuk senyuman tipis. Ketika Albern telah memposisikan diri di sampingnya, Brianna bergegas memberi salam. "Yang Mulia," katanya dengan kepala sedikit menunduk.

Albern membalas senyumnya. Tangannya terjulur mengusap kepalanya sekejap sebelum menariknya ke dalam dekapan. "Anna ..."

Brianna membalas pelukan suaminya itu. Menempelkan pipinya di dada bidang yang selalu ia usap di setiap malam yang mereka lalui bersama. Menyalurkan kasih sayangnya kepada suami yang selama ini ia dampingi.

"Apapun yang terjadi, aku akan selalu mengusahakanmu, mempertahankanmu, dan menyayangimu. Kau tahu itu, kan?" Brianna mengangguk saja.

"Selama lima tahun ini, aku bukanlah apa-apa tanpamu di sisiku. Kau yang selalu menemaniku, selalu menguatkanku, dan selalu mendukungku. Kau juga tidak pernah meragukanku dalam memimpin kerajaan ini, padahal diriku sendiri kadang kala merasa sedikit payah." Albern mengeratkan pelukannya. "Meskipun ke depannya keadaan kita mungkin saja berbeda, tolong ... tolong Anna ... jangan menyerah terhadapku."

Brianna merenggangkan pelukan. Ia menatap dalam mata jernih suaminya lalu tersenyum tipis. Tangannya menangkup kedua sisi wajah Albern, mengusapnya dengan lembut. "Yang Mulia sama berartinya untukku. Hal seperti itu tidak perlu dikhawatirkan."

Sebenarnya Albern ingin mengecup bibir Brianna barang sebentar, tetapi telinganya menangkap suara kaki mendekat. Seorang pelayan datang untuk memberitahu bahwa makan malam bisa segera dimulai. Para dewan istana dan beberapa orang yang berkepentingan telah hadir.

Queen of ArtantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang