Wajah remaja itu memucat, menyadari apa yang sudah di lakukannya pada Ellia. Anders menggelengkan kepalanya, berusaha menampik kenyataan. Dilihatnya wajah Ellia yang tampak lelah, dan juga mata gadis itu yang terlihat sembab.
Dengan tangan gemetar, disingkapnya selimut yang membalut tubuh keduanya. Terlihat tubuh mereka yang sama-sama polos, dan juga kedua lengan miliknya masih memerah bekas cengkraman Ellia semalam.
Dengan asal Anders memakai pakaiannya dan menuju kamar mandi.
Air shower membasahi tubuhnya, Anders memejamkan matanya. Tak henti-hentinya ia menyalahkan dirinya sendiri
"Bodoh kau, Anders!" Makinya penuh sesal.
"Kenapa kau tidak bisa menahan diri? Dan bisa-bisanya kau merusak masa depan seorang gadis." Anders terus-terusan menyalahi dirinya sendiri. Remaja itu memukul-mukul dinding kamar mandi, hingga jari-jari tangannya terluka dan berdarah. Anders mengusap wajahnya, terlihat kepanikan di manik hazelnya.
"Apa yang harus ku lakukan? Apa aku jujur saja mengatakan yang sudah terjadi pada Ellia? Tapi Ellia pasti akan marah dan membenciku, keluargaku juga pasti akan kecewa berat... Atau sebaiknya aku menutupi kenyataan ini selamanya? Tapi bagaimana dengan Ellia nanti?" tanyanya dalam hati.
Sepasang netra Anders kembali terpejam, sebelum akhirnya ia mengambil keputusan.
Anders keluar dari kamar mandi, secepat kilat ia memakai kembali pakaiannya. Lelaki itu menatap nanar pada sosok yang masih terlelap di atas tempat tidur.
"Ellia, i'm sorry..." ucapnya lirih sebelum meninggalkan gadis itu seorang diri.
*****
Sinar mentari pagi menembus kaca jendela, membuat gadis belia itu terusik, terjaga dari tidurnya. Pemilik manik cokelat itu mengerjap perlahan.
"Di mana ini?" gumam Ellia saat matanya terbuka sempurna, ia mengedarkan pandangan. Tempat ini sangat asing baginya. Ellia berusaha mengingat apa yang terjadi semalam, ia kembali memejamkan matanya singkat. Namun nihil, gadis itu tidak bisa mengingat apa pun. Hanya kepalanya yang masih terasa pusing.
Ellia baru akan beranjak duduk, tapi kemudian ia begitu terkejut saat menyadari tubuhnya dalam keadaan polos, hanya selembar selimut tipis yang menutupinya.
"Kenapa aku bisa telanjang?" Ellia bertanya dalam hati.
Ellia mencengkram erat selimut itu, matanya melebar menyadari sesuatu yang sudah terjadi pada dirinya semalam. Gadis itu menggeleng perlahan, wajahnya memucat, jantungnya berdetak cepat. Ellia beranjak duduk dan merasakan nyeri pada daerah kewanitaannya.
"Tidak mungkin..." gumamnya lirih. Disibaknya selimut yang mambalut tubuh polosnya. Terlihat ada bercak darah yang telah mengering di atas sprei. Ellia menutup mulutnya, tangisnya tertahan, dadanya terasa sesak mengetahui fakta dirinya telah kehilangan kesuciannya.
"Kenapa ini terjadi padaku? Siapa yang telah melakukan semua ini?"
Ellia kembali mencoba mengingat kejadian semalam, tapi yang ia ingat hanya sebatas ketika Karen dan teman-temannya memaksa untuk minum hingga dirinya mabuk. Dan setelah itu... Gelap, Ellia tak bisa mengingat apa pun lagi.
Dengan langkah tertatih Ellia berjalan menuju kamar mandi.
Dalam guyuran air shower Ellia menangis, mencoba menghapus begitu banyak tanda merah yang melekat di tubuhnya. Ia merasa sangat jijik pada dirinya sendiri.
"Kenapa semua ini terjadi padaku? Siapa yang sudah melakukan ini padaku?!" pekiknya.
"Apa salahku Tuhan? Apa salahku? Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan pada ibuku nanti?" Suara isak tangisnya memenuhi kamar mandi penginapan itu.
Sempat terlintas pikiran buruk untuk mengakhiri hidupnya, sebuah gunting kecil yang tak sengaja ia temukan sudah berada di tangan. Namun Ellia teringat pada sosok ibunya. Ibunya yang tak lagi muda, sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain dirinya, siapa yang akan menjaganya kelak?
Ellia menjatuhkan gunting tersebut, diiringi tangis yang larut bersama air yang mengalir.
*****
Dengan melangkah perlahan, Ellia memasuki halaman rumahnya. Rasa sakit itu masih saja terasa membuatnya kesulitan untuk berjalan.
"Ya Tuhan Ellia, kau dari mana saja? Kenapa baru pulang sekarang?" tanya Ibu Ellia begitu Ellia sampai di rumah. Sedari tadi wanita itu mondar-mandir di depan rumah menunggu kedatangan putrinya.
"Maafkan Ellia Ibu, semalam Ellia menginap di tempat Karen. Teman yang kemarin menjemput Ellia, karena sudah terlalu larut malam jadi Ellia tak berani pulang. Ellia juga tak bisa menghubungi Ibu karena ponsel Ellia tertinggal," jawab Ellia sambil menunduk, menyembunyikan wajahnya agar ibunya tidak tahu kalau ia sedang berbohong.
"Oh, semalam kau menginap di tempat temanmu?" tanyanya memastikan.
Ellia mengangguk, "Iya, Bu."
"Ibu hanya khawatir terjadi apa-apa denganmu, tapi kau baik-baik saja kan?" tanyanya lagi.
"Ellia baik-baik saja, Ibu." Ellia menatap Ibunya sejenak sambil tersenyum tipis.
"Ya sudah kalau begitu, kau istirahat saja. Ibu mau berangkat kerja dulu. Baik-baik di rumah ya." Wanita paruh baya itu mengusap pelan rambut Ellia.
"Iya Bu, hati-hati di jalan." Ellia mengecup punggung tangan sang ibu, netra di balik kacamata itu menatap nanar punggung ibunya yang menjauh.
Begitu Ibunya pergi, Ellia segera mengunci pintu depan dan masuk ke dalam kamar.
Menangis sejadi-jadinya hanya itu yang bisa Ellia lakukan. Teringat saat ia akan pulang dari penginapan, bermaksud mencari informasi siapa yang sudah membawanya ke sana, tapi Ellia tak mendapatkan apa pun.
Tak ada seorang pun yang tahu siapa pria yang bersamanya malam itu, karena pria itu menggunakan tanda pengenal Ellia untuk memesan kamar di sana.
Hendak bertanya pada Karen? Yang ada ia akan menjadi bulan-bulanan wanita itu. Mengingat semalam Karen lah yang memaksanya untuk minum sampai mabuk.
"Siapa yang sudah melakukan ini padaku... Kenapa dia tega sekali menghancurkan masa depanku..."
Ellia terduduk di lantai kamar, menutup wajahnya dengan kedua lutut. Menangisi masa depannya telah hancur oleh lelaki yang bahkan ia tak tahu siapa.
"Aku akan melupakan semuanya... Aku akan menganggap yang terjadi semalam hanyalah mimpi buruk. Mimpi buruk yang tidak perlu di ingat lagi." Tekat Ellia dalam hati.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Ellia I'm Sorry
RomanceBermaksud menolong teman sekolahnya yang menjadi bahan bullyan, Anders malah tak bisa menahan dirinya sendiri ketika melihat wajah cantik Ellia yang selama ini selalu tertutup oleh kacamata tebalnya. Apalagi keadaan Ellia yang mabuk berat, memudahka...