Chapter 42

356 29 0
                                    

Ellia merapikan kembali mangkuk dan gelas yang kotor. Ia juga membantu Anders untuk berbaring kembali walau pun masih memasang wajah datar.

"Siapa yang mengganti pakaianku semalam?" tanya Anders tiba-tiba. Ia baru ingat tadi ketika bangun tidur pakaiannya sudah berganti.

"Tentu saja istrimu. Apa kau pikir tengah malam aku akan berteriak-teriak untuk membangunkan para pelayan supaya mengganti pakaianmu?" Ellia balik bertanya.

Anders tak menjawab, benar ternyata semalam Ellia yang mengganti pakaiannya. Itu artinya Ellia melihatnya dalam keadaan polos? Hah, entah mengapa itu terdengar memalukan untuk Anders, apalagi dirinya sedang tidak sadar. Walau sudah melakukan hubungan suami istri dengan Ellia, tapi tetap itu memalukan bagi Anders.

"Kenapa semalam kau pulang begitu larut?" tanya Ellia yang masih duduk di samping Anders.

"Aku pulang atau tidak, memangnya kau peduli? Mungkin di pikiranmu aku sedang bersenang-senang dengan wanita lain," jawab Anders dengan nada getir.

"Kau marah karena ucapanku kemarin malam?" Ellia menerka.

"Apa aku punya hak untuk marah? Sementara semua adalah salahku. Kebencianmu padaku sudah mendarah daging. Aku selalu saja terlihat buruk di matamu," jawab Anders, kilat bening tampak di mata hazelnya. Ellia menatap lekat, namun datar. Ada rasa penyesalan menyelinap di hati kecilnya, apalagi mengingat keadaan Anders semalam.

"Aku minta maaf kalau perkataanku sudah menyakiti perasaanmu," ucapnya pelan sambil beranjak dari duduk. Kening Anders tampak berkerut.

Apa dirinya tak salah dengar? Istri galaknya itu baru saja meminta maaf?

Ellia berlalu dari sana sambil membawa wadah bekas Anders makan tadi. Ia tak menunggu jawaban dari Anders tentang permintaan maafnya.

"Daddy! Daddy!" Pintu kamar itu kembali terbuka, Emily berlari kecil menghampiri Daddynya. Anders yang tadi hendak memejamkan matanya kembali, terbangun lagi.

"Hai, Sayang." Emily duduk di samping Anders.

"Mama bilang Daddy sedang sakit? Daddy sakit apa?" tanya gadis kecil itu, wajahnya terlihat khawatir, tapi itu malah membuat Anders gemas.

"Daddy tidak apa-apa, Sayang. Hanya pusing saja," jawabnya. Tangan kecil itu menempel di kening Anders, memeriksa suhu badannya.

"Badan Daddy panas," ucap Emily sendu. Anders tersenyum, putri kecilnya itu begitu perhatian.

"Hanya panas saja, Emily. Tapi Daddy tidak apa-apa," ucapnya sambil mengusap rambut panjang Emily.

"Kenapa Daddy bisa sakit? Apa Daddy kehujanan? Kemarin hujannya deras sekali, Emily menunggu Daddy pulang tapi Daddy tidak datang-datang." Celotehnya.

Semalam Emily memang menunggu Anders pulang, tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Padahal Ellia sudah menyuruhnya untuk tidur karena Emily sudah terlihat mengantuk. Akhirnya saat pukul sembilan malam Emily menyerah karena sudah tidak bisa lagi menahan kantuknya.

Anders berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan Emily. Tidak mungkin juga ia jawab karena memang dirinya hujan-hujanan semalam.

"Daddy menunggu hujannya reda, Sayang," jawab Anders kemudian.

"Daddy pasti takut suara petir kan?" tanya Emily lagi.

"Petir?" Semalam saat petir membahana, Anders bahkan ada di pemakaman dan dirinya sama sekali tak memedulikan itu.

Suara dering ponsel mengalihkan perhatian keduanya, Emily mengambil ponsel itu karena jaraknya yang lebih dekat.

"Daddy, Paman Jeff menelepon," ujarnya sambil menyerahkan ponsel itu pada Anders, namun Anders menolak. Sekretarisnya itu pasti akan menanyakan tentang dirinya yang belum sampai kantor.

"Kau saja yang jawab, ya?" pintanya, Emily mengerutkan kening, kemudian mengangguk patuh.

"Halo, Tuan. Tuan di mana? Kita ada rapat sebentar lagi," ucap Jeff begitu panggilannya terhubung.

"Paman Jeff, ini Emily," sahut Emily.

"Nona Emily? Kenapa Nona yang mengangkat teleponnya? Di mana Daddy Nona?" tanya Jeff di balik ponsel.

"Daddy sedang sakit, Paman. Jadi Daddy tidak bekerja hari ini," jawab Emily apa adanya dan Anders hanya menyimak.

"Oh, Tuan Anders sakit?"

"Iya, Paman. Badan Daddy panas, muka Daddy juga pucat," jawab Emily jujur. Terdengar Jeff menghela nafas berat.

"Baiklah kalau begitu, Nona. Terima kasih." Jeff mematikan panggilannya.

"Benar dugaanku, kalau Tuan Anders tidak akan masuk kantor hari ini," ucap Jeff sambil menatap layar ponselnya.

"Dan itu artinya aku yang akan menyelesaikan pekerjaan hari ini. Nasib seorang bawahan..." keluhnya. Hari ini dirinya banyak pekerjaan dan sekarang harus ditambah dengan pekerjaan Anders.

"Paman Jeff bilang apa?" tanya Anders pada Emily setelah putrinya meletakan kembali ponselnya di tempatnya semula.

"Hanya menyakan Daddya lalu bilang terima kasih saja," jawab Emily. Anders menganggukkan kepalanya. Jeff pasti tidak akan protes jika bukan dirinya yang mengangkat telepon, untung saja ada Emily di sana.

Klek, pintu kamar terbuka. Ellia menghampiri keduanya.

"Emily, Daddy harus istirahat sekarang. Jadi sebaiknya kita keluar saja ya," ajaknya.

"Tapi Emily masih ingin bersama Daddy, Mama," pinta Emily dengan tatapan tak relanya.

"Ellia, biarkan Emily di sini. Lagi pula Emily tidak menggangguku." Anders ikut bicara.

"Kau masih ingat apa yang dikatakan Dokter Meitha tadi?" tanya Ellia padanya.

"Emily akan menemani sampai Daddy tidur, bagaimana? Emily janji tidak akan mengganggu Daddy." Emily memohon sambil mengedip-ngedipkan mata hazelnya. Ellia menatap ayah dan anak itu bergantian. Kedua orang itu memang sulit di pisahkan jika sudah bersama.

"Baiklah, tapi Emily tidak boleh mengganggu Daddy. Biar Daddy istirahat, agar cepat sembuh." Akhirnya Ellia mengalah. Emily langsung tersenyum lebar.

"Baik, Mama. Ayo Daddy berbaring, Emily akan menemani sampai Daddy tidur," ujarnya sambil mendorong pelan tubuh Anders agar berbaring kembali, Emily kemudian menarik selimut sampai menutupi dada Anders.

Cup.

Satu kecupan mendarat di kening Anders membuatnya tersenyum simpul. Perlakuan Emily padanya benar-benar manis.

"Mama, ayo cium Daddy. Biar Daddy cepat tidur," pintanya sambil menarik tangan Ellia. Sedangkan Anders langsung menutup matanya, ia tidak peduli Ellia mau menciumnya atau tidak. Menggigitnya sekali pun rasanya tak masalah. Namun tiba-tiba...

Cup.

Satu kecupan hangat kembali mendarat di keningnya, Anders refleks membuka mata.

"Istirahatlah," ucap Ellia setengah berbisik. Wanita itu kemudian beranjak keluar kamar.

"Daddy, ayo tutup matanya." Ucapan Emily menyadarkan Anders, pria itu tadi membeku saat menyadari Ellia mencium keningnya.

"Eh, iya sayang. Daddy tidur ya." Anders memejamkan matanya kembali.

"Ternyata sakitku tidak sia-sia, setidaknya sikap Ellia berubah padaku. Dan ku harap setelah sembuh nanti sikap Ellia masih sama terhadapku sampai pernikahan ini berakhir." Batinnya.

Ellia melangkah menuruni tangga, dan berhenti di tiga anak tangga terakhir. Ia duduk di sana.

"Daddy, Mommy, jangan tinggalkan aku. Alice.... Alice maafkan Kakak. Semua salah Kakak..."

Racauan Anders semalam masih terngiang di telinga Ellia.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Anders? Aku benar-benar penasaran. Apa lagi Anders selalu menyebut nama Alice. Apa yang sudah terjadi dengannya? Di mana dia sekarang?"

Berbagai pertanyaan tentang keluarga Anders memenuhi kepala Ellia. Ellia juga tidak tahu harus bertanya pada siapa untuk mendapat jawabannya.

☆☆☆☆☆

Jangan lupa vote 🥰

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ellia I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang