JUNA 14 | Rapuh

13 2 0
                                    

Cowo berkaos hitam itu masih terbaring lemah di atas ranjangnya dengan sebuah foto yang ia peluk di atas dadanya. Matanya masih terpejam pulas, tak peduli akan keberadaan sinar matahari yang sudah menerobos masuk ke kamarnya.

Tak lama, mata Juna terbuka perlahan. Ia lalu mengambil foto yang sedari tadi menempel di dadanya. Matanya menatap sendu setiap wajah yang ada di dalamnya. Rasanya ia sangat ingin masuk ke dalam foto itu dan kembali merasakan suasana yang menyenangkan yang pernah ia alami.

Jika merasa rindu dengan seseorang, maka wajahnya yang akan pertama terbayang.  Mendekap dengan erat fotonya lalu diajak bicara seakan mereka semua masih ada. Membayangkan kembali peristiwa bersejarah yang ada pada masanya, tersenyum saat mengingat kebahagiaan yang datang dan menangis saat sadar bahwa semuanya tak bisa terulang. Mereka sudah hilang, tidak akan datang.

Perlahan tubuhnya bangkit, tangannya meletakan kembali foto itu di meja yang ada disampingnya. Ia masih belum berkata apapun. Juna menarik nafas dalam-dalam, membiarkan banyak udara pagi ini masuk ke tubuhnya. Ia berdiri lalu melangkahkan kedua kakinya menuju jendela, terlihat gedung-gedung yang berdiri kokoh disekitarnya dan dibawah sana terlihat jalanan yang ramai dengan pengendaranya.

Hari ini, cowo itu tak pernah membayangkan bahwa takdir yang Tuhan berikan untuknya se mengejutkan ini. Sampai dirinya saja tak tahu caranya untuk terus bertahan dalam semua luka yang ia tampung sendiri dibatinnya.

"Kenapa, Tuhan? Pundak gue ngga sekuat itu" ucapnya dengan suara yang bergetar. Perlahan tubuhnya terduduk lemas, kedua tangannya memeluk erat kedua kakinya, wajahnya tertunduk sendu.

"Ra, gue butuh lo. Ketenangan gue"

"Mah, Juna pengin ikut"

••°°○○°°••


Cewe itu masih terus berusaha untuk menghubungi Juna, walau sudah lebih dari lima puluh kali tidak ada jawaban apa-apa. Dengan perasaan yang tak tenang, Ara mencoba untuk berpikir positif tentang keadaan cowo itu.

"Na, angkat! Lo dimana sih?!" gumamnya sambil terus mendekatkan ponsel ke telinganya. Kakinya terus saja melangkah ke kanan dan ke kiri dengan penuh harap agar cowo itu mengangkat panggilannya. Tangannya lalu bergerak, mengganti nama kontak yang akan ia hubungi kembali

Tutt..tutt..tutt

"Iya, halo Ra. Kenapa?" tanya Mega disana.

"Halo, Ga. Gue boleh minta tolong ngga?"

"Boleh, Ra. Ada apa?"

"Bantu gue cari, Juna. Ke rumah Pak Rendy"

"Kalo itu, tadi Bagas, Gio sama Bobby lagi jalan juga ke rumah Juna. Emang mereka ngga ngasih tau lo?"

"Hah, ngga. Gue mau ikut Ga, gue khawatir"

"Iya, Ra. Lo tenang ya, gini aja nanti gue telfon Bagas supaya jemput lo. Atau lo sendiri yang mau nanya ke dia?"

"Gue sendiri aja, Ga"

"Oke, Ra. Lo tenang ya, Juna pasti baik-baik aja. Sorri gue ngga bisa temenin lo, soalnya gue sekarang lagi di jalan mau kerumah saudara gue. Nggapapa ya?"

"Nggapapa, Ga. Makasih ya, lo hati-hati di jalan"

"Okee, Ra. Lo juga tiati"

Ara lalu memutus telponnya. Tangannya kembali bergerak mencari nama Gio di kontaknya.

Tutt..tutt..tutt

"Halo, Gio"

"Eh Ara. Tumben nelfon, ada apa?

"Iya, gue mau nanya. Lo sama Bagas Bobby lagi mau kerumah Juna ya?"

"Iya, Ra. Ini baru pulang, tapi kita ngga nemuin Juna"

ABHIZARA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang