20❗

687 162 6
                                    

"Mikey gaterima Izana nyelakain aku. Aku juga bingung kenapa Izana tega banget lakuin hal itu. Mangkanya pas (Name)-chan pingsan tadi, Mikey sempet nyatain perang sama Tenjiku. Sekarang Mikey lagi adain rapat anggota Toman buat persiapan ngelawan Tenjiku tiga hari lagi. Aku udah berusaha cegah dia, tapi gabisa (Name)-chan. Mikey terlalu keras kepala."

Emma menjelaskan semuanya. Membuat (Name) paham namun juga bingung harus berbuat apa. Ia tahu betul. Jika sudah begini akan jadi susah baginya untuk menghentikan Mikey. Pria itu benar-benar sangatlah keras kepala.

Emma memeluk tubuh lemah sambil tersedu. Menangis dalam dekapan yang hangat membuat (Name) jadi tak tega melihatnya. Gadis ini tengah rapuh.

"Aku gamau mereka gitu (Name)-chan.. Resikonya terlalu besar. Aku gamau salah satu dari mereka berakhir kayak kak Shin. Aku gamau kehilangan kakakku lagi (Name)-Chan. Aku sayang mereka.."

(Name) membalas pelukan itu. Membelai lembut surai kuning pirang berharap gadis ini bisa jadi lebih baikan.

"Tenang Emma. Semuanya bakal baik-baik aja. Percayalah. Ada aku, ada aku yang bakal bantu kamu. Kamu gak perlu nangis lagi. Aku bakal bantu kamu sebisaku. Aku bakal gagalin mereka buat bentrok. Aku janji."

Emma menengadah. Menatap wajah sendu (Name) dengan mata sembabnya.

"Jangan (Name)-chan! (Name)-chan udah banyak bantu aku. Aku gamau (Name)-chan kenapa-napa lagi gara-gara ngelindungi aku. Aku bakal usaha sendiri (Name)-chan. Aku cuma butuh dukungan dari (Name)-chan aja."

(Name) menggeleng pelan seraya tersenyum lembut.

"Aku yang butuh dukungan kamu Emma. Kita selesaikan ini sama-sama, oke? Aku bakal berusaha sebisaku. Aku janji. Aku janji gak bakal gagal untuk yang kedua kalinya."

(Name) berucap sembari mengingat bagaimana janjinya waktu itu untuk memenangkan Toman dan membawa Baji kembali. Memanglah saat itu ia menepati janji tersebut. Tapi sayangnya karena sebuah kesalahan kecil, ia kehilangan segalanya.

Kehilangan Mikey.

"Kedua kalinya?" Emma menekuk dahi bingung. Membuat (Name) terkekeh pelan sebelum mengacak surai pirang indah itu gemas.

"Pokoknya, aku bakal menang Emma. Aku bakal menang. Camkan itu baik-baik."

Emma tersenyum kecil mendengar ucapan sahabatnya yang tidak main-main. Merasa bersyukur karena kehadiran (Name) di sini membuatnya jauh merasa lebih tenang dan juga lega.

"Makasih (Name)-chan. Kau yang terbaik!"



***


Pagi ini (Name) masih dirawat di rumah sakit. Ia juga mulai mengikuti terapi jalan di sana. Untuk sementara waktu ia berjalan menggunakan kruk dan tentu saja ia harus ekstra bersusah payah untuk menggunakan benda itu. Ia harus membiasakan diri.

Selepas kunjungan Hina, Takemichi, dan Chifuyu, (Name) memutuskan untuk berkeliling halaman rumah sakit lantaran terlalu jenuh jika harus berdiam diri di dalam bilik.

Menunggu Emma pun, gadis itu akan mengunjunginya selepas makan siang. Lama sekali. Ini saja baru jam 10 pagi. Bisa-bisa (Name) akan mati membeku di dalam sana.

Tubuh (Name) juga sudah mulai membaik. Tidak kaku dan sakit seperti kemarin. Kadang kalanya saja tiba-tiba terasa nyeri. Tapi tenang. Itu tidak terlalu sakit mengingat daya tahan (Name) sangatlah kuat.

Yang jelas dan yang jadi masalahnya sekarang adalah kakinya ini. Kenapa juga harus ada acara retak tulang? (Name) jadi tidak bisa leluasa bergerak bebas apalagi menendang jika ada marabahaya yang menghadang.

Ahh, (Name) tidak bisa pecicilan.

Di saat ia tengah berkeliling mencari angin, tiba-tiba saja arah pandangnya tertuju pada sosok yang tengah duduk di bangku luar pagar rumah sakit. Sosok yang terasa familiar itu sanggup membuat jantung (Name) berdenyut sesak dan hatinya terasa sakit.

"N-ngapain dia di sini?"

Gumamnya kemudian.

Ingin berbalik hendak menghindar, namun nyatanya yang (Name) lakukan adalah menghampiri sosok tersebut lantaran ada suatu hal yang harus ia sampaikan kepadanya.

(Name) tidak boleh kalah dengan perasaan.

Gadis itu berusaha semaksimal mungkin menetralkan deru jantung dan juga bersikap tenang. Ia harus terlihat lebih dewasa agar ketika ia bicara nanti tidak melantur kemana-mana yang berakhir malah membawanya pada suatu jalan buntu.

"Kayaknya perseteruan ini gak perlu di lanjutin lagi deh."

Ujar (Name) tiba-tiba hingga membuat sosok yang tengah melamun itu terkejut dan reflek menoleh ke arah (Name) yang berdiri di samping bangku tak berniat untuk duduk.

"Gak usah ikut campur. Bukan urusanmu."

Balasnya sarkas membuat hati (Name) seketika berdenyut sakit.

Namun tak apa. (Name) sudah terbiasa. Ia masih bisa menahannya.

"Yah, awalnya aku juga mikir. Semua ini emang bukan urusanku dan aku sepatutnya gak perlu ikut campur. Tapi sayangnya aku gabisa. Aku udah terlanjur janji sama seseorang buat bikin kalian gak berantem dan malah berakhir kayak Shinichiro."

Manik Mikey seketika melotot tajam. Kemudian menoleh menatap gadis itu nyalang.

"Diam kau. Shinichiro gak ada hubungannya sama masalah ini."

Entah kenapa (Name) merasa tak habis pikir dengan pemikiran pria ini. Dia sungguh kekanak-kanakan.

"Aku, aku gak bakal tinggal diam sama orang yang udah berani nyelakain orang yang ku sayang." ujar Mikey.

Alis (Name) kemudian terangkat sebelah. Seolah meremehkan ucapan pria ini barusan.

"Oh, gitu? Tapi sayangnya Emma gak kenapa-napa tuh. Malahan aku yang celaka."

"Aku gak peduli."

Hati (Name) seketika bak tersambar petir. Ia mengangguk-ngangguk paham seraya tersenyum kecut.

Ia sadar. Mikey memang bukan miliknya lagi.

"Emma gak mau kalian bentrok. Itu aja. Apa salahnya kamu selesain masalah ini baik-baik lalu setelah itu damai? Kamu gak tau apa alasan Izana lakuin ini. Jadi berhentilah bersikap bocah dan atasi masalah dengan kepala dingin."

"Masalahnya dia udah nyelakain Emma. Aku gak bisa tinggal diam. Api harus dibalas api. Dan kau mending diam dan pergi dari sini sekarang juga."

(Name) lagi-lagi mengangguk paham dengan lengkungan senyum kecut. Pria ini sudah tidak bisa dicegah. (Name) sudah berada di ambang batas.

Ia butuh rencana.

"Kau tahu? Tanpa kau sadari Emma lakuin ini semua demi kalian berdua. Dia selalu mikirin perasaan semua kakak-kakaknya. Tapi sayangnya, kakak-kakaknya ini gada yang mau ngertiin perasaan dia."

(Name) mulai menjauh pergi dengan kruknya. Tertawa kecut saat dirinya berjalan melewati Mikey yang juga tengah menatap punggungnya dengan manik melebar.

"Hh, dasar cowok brengsek."

Adalah kata terakhir sebelum ia benar-benar pergi menjauh meninggalkan pria yang tengah mengamati sebuah langkah tertatih di depan sana.

"Kakinya beneran luka?"

Gumam Mikey pelan dengan hati yang berkecamuk tak karuan.

Dirasa tubuh itu sudah mulai tak terlihat lagi, pria itu kemudian menyandarkan punggung pada sandaran bangku. Menatap langit biru sejenak sebelum kemudian bangkit berdiri sembari menghirup udara segar di sekitar.

Baiklah.

Kunjungan hari ini sudah berakhir. Saatnya ia pergi ke markas dan menyiapkan semuanya.

"Jaa mata, ibu negara."






_TBC_

𝗥𝗘𝗔𝗟𝗜𝗧𝗬╵ˢ.ᵐᵃⁿʲⁱʳᵒᵘTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang