6 - THE LACKEY

603 150 12
                                    

Meskipun kehidupannya biasa saja cenderung kekurangan, Benio bisa menyebut dirinya bahagia. Dia punya kakek yang selalu mau mendengarkan cerita Benio, menemani Benio belajar jam berapapun, menunggu Benio pulang sekolah atau kegiatan sosialnya, mengajak Benio ke pasar dan membuatkan makanan untuk Benio. Biarpun di sekolah kehidupan Benio terbilang menyedihkan, tap di rumah, Benio bahagia. Jadi dia tidak terlalu ambil pusing dengan segala tekanan di sekolah. Kesal? Pastinya. Ingin balas dendam? Pernah terpikir.

Kepada orang-orang yang menyiksanya, Benio malah merasa kasihan.

Kenapa Al sibuk menjahili Benio karena dekat dengan Ammar? Ammar kan pacarnya. Tidak mungkin Ammar memilih Benio daripada Al yang lebih dari segalanya dibanding Benio. Lebih cantik, lebih wangi, lebih mulus, lebih kaya, lebih punya banyak teman. Kalau kepintaran tentu lebih pintar Benio sih.

Harusnya Al kan tetap percaya diri saja dengan hubungannya bersama Ammar. Memangnya dia merasa tersaingi dengan keberadaan Benio sampai harus membuat Benio kesulitan? Daripada sibuk membuat Benio tersiksa, bukannya lebih baik dia fokus saja pada hubungannya dengan Ammar?

Benio merasa lebih kasihan lagi dengan Patrick. Patrick selalu berada di belakang Alnida, menjadi bayangan Al. Selalu dikenal sebagai Patrick Si Kacung. Tidak pernah dikenal sebagai dirinya sendiri. Mungkin tidak ada yang tahu kalau Patrick punya bakat di bidang mekanik. Dia pernah membantu seorang guru mengulik motor beliau saat mogok dan dia terlihat sangat senang melakukannya. Tapi setelah itu semuanya terlupakan. Dengan Patrick berkarir menjadi manager Al sekalipun, Benio tidak yakin Patrick pernah melirik minatnya itu lagi.

Ketika Patrick menyiram Benio dengan air pel, Patrick terlihat keberatan. Wajahnya takut, merasa bersalah, mungkin ingin membantu Benio, tapi Patrick tidak mungkin melakukan itu. Dia harus menuruti perintah Al maka Patrick tidak punya pilihan lain.

Ketika beberapa kali Patrick memperhatikan Benio diperlakukan tidak adil, setiap kali itu juga Benio melihat Patrick memalingkan wajah. Seakan tidak mau ada di situ karena tidak suka melihatnya tapi tidak bisa melakukan apa-apa.

Poor Patrick.

"Ben, you okay?"

Pikiran Benio yang melayang ke sana kemari akhirnya kembali menjejak ke Bumi. Kepala Benio berpaling ke arah suara dan menyadari Ammar memanggilnya dari jarak sedekat ini. Bahkan Benio merasakan bahwa ternyata Ammar memeluknya. Sepelan mungkin Benio mendorong lengan Ammar supaya berdiri di atas kakinya sendiri.

"Aku shock. Bener-bener kaget dan nggak nyangka. Why?"

Suara Benio sedikit bergetar. Lebih karena kaget. Terlepas dari apapun alasan pembunuhan dua orang ini, Benio mengenal mereka dulu, pernah menjalani masa sekolah bersama. Melihat nyawa mereka dihabisi dengan cara seperti itu, Benio juga tidak bisa tenang.

"Aku juga nggak tahu, Ben," Ammar menggeleng. Wajahnya juga sedih. "Kita jalan yuk."

Tidak ada kata terucap dari Benio saat dia memutar tubuhnya untuk pergi dari hadapan televisi. Kepala Benio tertunduk, berita tentang Patrick masih melayang di kepalanya. Tidak bisa menghilangkan kata-kata tentang Patrick yang ditusuk lalu digantung di rumahnya. Bulu kuduknya merinding, Benio memejamkan matanya untuk mengusir kengerian yang dirasakannya, tapi saat matanya tertutup, otak Benio refleks membayangkan tubuh Patrick yang berlumuran darah tergantung.

"Astaga," Benio mendesis.

Ammar menyadari bahwa temannya masih gusar. Sembari berjalan, Ammar sengaja mengangkat tangannya lalu mengelus rambut Benio. Rambut berwarna cokelat yang terlihat sangat berbeda di antara semua orang yang berwarna hitam. Ini pertama kalinya Ammar berani menyentuhnya langsung.

Latte Murder - END (WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang