53 - THE CHRONOLOGIES

360 86 20
                                    

Pengakuan Fauzan sudah begitu jelas dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan keluarganya untuk mengeluarkannya dari tuntutan ini. Polisi yang masih menyelidiki kasus ini seakan tertimpa durian runtuh. Pelaku yang mereka cari selama ini akhirnya datang sendiri dengan mengakui semua perbuatannya.

Benio mengerjapkan mata beberapa kali sebelum membuka matanya lebar-lebar. Kepalanya masih pusing dan perasaannya masih terasa aneh. Ketika dia melihat wajah cemas Ammar di depannya, kekhawatirannya kembali terasa begitu jelas.

"Aku tidak bermimpi kan?" Benio berkata getir dan serak.

Ammar mengetahui maksud pertanyaan Benio. Dia pun menjawab dengan gelengan. "Kenyataannya sudah terbuka, Ben."

Sungguh sulit untuk menerima begitu saja bahwa pacarnya sendiri adalah pelaku dari semua pembunuhan sadis itu. Apalagi dia melakukannya karena Benio. Padahal Benio tidak pernah meminta. Dia hanya bercerita kepada Fauzan sebagai bagian dari saling mengenal sebagai pacar. Benio sama sekali tak bermaksud untuk menyingkirkan orang-orang yang pernah jahat padanya. Semua itu telah tertinggal di belakang.

"Dia sudah ada di penjara, Ben," Ammar mengelus rambut Benio, merapikan selimut supaya Benio lebih nyaman. Saat ini Benio baru menyadari bahwa dia ada di kamarnya sendiri, di rumahnya.

Benio berguling ke sebelah kiri, meraih boneka lumba-lumba pemberian Ammar, lalu memeluk boneka itu erat-erat.

"Proses pengadilannya akan segera berlangsung. Mungkin, kita akan dipanggil sebagai saksi." Ammar mengelus terus.

"Ini bukan salah kamu, Ben. Sama sekali bukan karena kamu," Ammar berbisik menguatkan. Ketika Benio tak merespon, dia merasakan sebuah tangan memeluknya dari belakang.

"Stay strong, Ben." Ammar mencium tengkuk Benio, memeluknya erat.

Benio memegang tangan Ammar, memejamkan mata, membiarkan air mata sekali lagi mengalir di pipinya.

***

Al melepaskan kacamatanya meskipun dia tidak mau. Tapi dia sebaiknya tidak menarik perhatian dengan bersikap snob.

"Saya mau mendatangi The Great Hall," kata Al kepada resepsionis, menyebutkan nama lengkap tempat yang dia tuju, bukan hanya TGH seperti yang disebutkan oleh orang yang akan ditemuinya. Al menyempatkan diri melirik jam tangannya. Pukul 09.55. Dia tiba lima menit lebih cepat dari yang dijanjikan.

"Baik, silakan langsung menuju lorong sebelah kiri dan bisa langsung masuk saja."

Al memilih untuk tidak menanggapi lagi, melainkan langsung masuk ke ruangan itu. Dia cukup kaget karena tempat mereka janji bertemu adalah sebuah aula super besar yang sekarang sedang kosong melompong. Hanya ada satu orang yang menunggunya di bagian depan aula.

"Akhirnya datang juga. Aku sudah berpikir kamu tidak akan datang," ucap orang yang ditemui Al, yang menyambutnya dengan tangan terbuka.

"Mana mungkin aku menolak penawaran dari kamu." Al tersenyum, dengan sukarela memeluk dan menerima kecupan di pipinya.

Al memang sudah punya pacar. Bahkan sudah berniat menikah. Tapi ketika anak pengusaha ini menawarkan sesuatu yang sangat besar dan menjadi idamannya, Al tidak akan menolak.

"Jadi, besok aku tunggu kamu di apartemenku ya." Al menutup pembicaraan hari ini, setelah Fauzan menjelaskan apa saja yang bisa Al dapatkan jika mau memenuhi permintaannya.

"Sure." Fauzan tersenyum, memegang tangan Al dan sengaja meraba bokongnya.

Alnida Princessa tersenyum girang, berinisiatif sendiri mencium bibir Fauzan dan sengaja sedikit mendesah.

Latte Murder - END (WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang