51 - THE ROMANCE AMONG THE FEAR*

480 83 16
                                    

Ammar sampai di rumah Benio lebih dulu dan terpaksa menunggu di depan. Benio sampai dua puluh menit kemudian, turun dari taksi dan menghampiri Ammar dengan terburu-buru.

"Kamu luka!" seru Benio begitu melihat wajah Ammar.

Ammar sendiri baru ingat bahwa pipinya tergores pisau Fauzan. Juga baru sadar bahwa lengan kemejanya bernoda darah.

"Ayo masuk. Kita aman di sini," Benio menarik tangan Ammar, membimbingnya ke dalam.

Di dalam, Ammar menjatuhkan diri di sofa, berbaring telentang, mengatur napas dengan lebih baik sekarang. Sedari tadi dia tidak bisa tenang karena ingin memastikan Benio selamat, ingin memastikan Fauzan tidak mengejarnya, dan pikiran lain yang menghantuinya.

"Aku obati dulu luka kamu sebentar ya. Setelah itu kamu ganti baju."

Benio berlutut di samping sofa, menangani luka di pipi Ammar. Saat dirawat oleh Benio, Ammar tidak bergerak. Memejamkan mata menahan sedikit rasa perih.

Begitu Benio selesai menempelkan plester di pipinya, Ammar mengubah posisinya menjadi duduk. Benio ikut duduk di samping Ammar dan mulailah Ammar bercerita tentang apa yang terjadi tadi antara dirinya dan Fauzan.

"Aku tidak punya kesimpulan lain selain Fauzan adalah pelakunya, Ben." Ammar menarik napas.

"Sepertinya begitu," Benio berkata lemah, lalu bersandar ke sofa.

"Kita harus lapor Polisi," Ammar mengepalkan tangan, bertekad.

"Tapi apakah Polisi bisa langsung percaya? Perlukah kita berikan bukti?"

Ammar mengangguk. "Kamu benar. Kita bisa berikan beberapa bukti atau setidaknya poin-poin yang kita temukan supaya jadi alasan Polisi menyelidiki Fauzan. Kita bisa serahkan hasil temuan kita yang ada di apartemen aku."

Ammar segera mengambil tasnya dan berdiri. Tapi Benio menarik tangannya, menggeleng.

"Tidakkah kamu khawatir bahwa Fauzan mungkin ada di apartemen kamu sekarang? Setelah kamu kabur dari dia dengan dugaan ini, dia pasti akan mencari kamu ke tempat-tempat yang mungkin kamu datangi. Sebaiknya kita di sini dulu. Menyusun rencana apa yang mau kita lakukan, memberi badan kita istirahat yang cukup, lalu mencoba mengarahkan pikiran Ojan bahwa kamu mungkin sama sekali menghindari tempat tinggal kamu, jadi ketika kita ke sana, dia sudah pergi."

Pelan-pelan, Ammar pun kembali duduk.

"Tapi waktunya?"

Benio menggeleng. "Tidak ada bedanya sehari atau dua hari, Mar. Jangka waktu kadaluarsa juga masih jauh. Yang sekarang berpotensi terancam adalah kamu, dan itu yang harus kita hindari. Aku yakin Ojan tidak akan menyerang siapa-siapa sekarang, karena yang dia kejar adalah kamu dan aku."

Ammar pun mengangguk. "Kamu benar, Ben."

"Aku tahu," Benio mengelus luka di pipi Ammar. "Kamu bisa ganti baju dulu sambil aku siapkan makan. Kamu pasti capek."

Ammar mengangguk tapi sejurus kemudian dia menoleh kepada Benio yang sedang menuju dapur. "Aku tidak pernah meninggalkan pakaian di rumahmu, Ben. Bagaimana bisa ada baju untukku? Kamu tidak berpikir untuk meminjamkan baju kamu kan?"

Wajah Benio langsung memerah. Tangannya mengibas. "Pak Zul berkeras menyimpan beberapa baju di sini. Beliau bilang jaga-jaga kalau beliau menginap. Tapi setelah aku lihat, gayanya lebih cocok untuk anak muda. Jadi sepertinya..."

Ammar juga ikut tersipu malu. Biarpun mengatakan tidak ada hubungan antara mereka, tapi sepertinya ayah kandung Benio itu bisa menebak ada sesuatu antara Benio dan Ammar.

"Ada di lemari di ruang tidur tamu. Kamu bisa pilih yang kamu suka. Aku ke dapur dulu ya."

Benio setengah berlari menuju dapur. Ammar–masih tersipu–segera menuju kamar yang disebut Benio. Benar ucapannya. Dalam lemari, sudah bertumpuk beberapa pakaian yang Ammar duga tidak ada kecocokan jika digunakan oleh pria paruh baya. Ammar pun tertawa. Kalau begini ceritanya, dia tidak perlu susah berusaha mendapatkan restu Zul.

Latte Murder - END (WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang