36 - THE SISTER

276 77 12
                                    

Benio tak sanggup berkata-kata usai Ammar merayunya seperti itu. Mereka hanya bertatapan beberapa detik, dengan Ammar yang terus tersenyum dan Benio yang hanya bisa melongo. Benio masih berusaha mencerna kata-kata Ammar, memutuskan apa yang harus dia katakan atau lakukan.

Nyatanya, Ammar tidak memberi kesempatan bagi Benio untuk berpikir terlalu lama. Ammar terlanjur mencium Benio lagi. Bibir mereka bersentuhan dan Benio semakin kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih. Tubuh Benio refleks bereaksi dengan memejamkan matanya dan membalas ciuman Ammar.

Di lantai bagian depan apartemen Ammar, keduanya kembali berciuman. Ammar tak bisa menghentikan senyumnya saat mencium Benio. Sementara Benio mencium Ammar seperti yang tak pernah dia lakukan sebelumnya.

Benio yang pertama menjauh, menghentikan ciuman mereka. Namun Ammar tak mengizinkannya bergerak terlalu jauh. Sekarang Ammar merangkul Benio agar tetap berada di dekatnya. Sebagai tambahan, Ammar mengelus pipi Benio yang perlahan mulai memerah.

"Apakah itu artinya ya?" bisik Ammar. Embusan napasnya yang hangat terasa di wajah Benio. Seketika dia pun merasa lapar, ingin mencicip lagi nikmatinya sentuhan Ammar di bagian tubuhnya.

"Aku..." Benio mengerjap. Tiba-tiba bayangan Fauzan muncul di benaknya. "Aku nggak bisa. Maaf."

Benio menjauh dari Ammar, berdiri seketika sehingga kepalanya sedikit terasa pusing. "Aku masih pacar Ojan, Mar. Maaf."

Ammar pun tersenyum kecut. "Aku tahu."

Benio berdiri kaku.

"Permintaanku, pikirkan saja, Ben. Kita sama-sama tahu bahwa kamu punya perasaan ke aku. Entah itu banyak atau sedikit. Dan kita juga tahu bahwa kamu menunda menerima lamaran Fauzan, itu artinya kamu tak sepenuhnya yakin terhadap dia sebagai pasangan kamu."

Benio menelan ludah.

"Maaf kalau ini jadi beban kamu, Ben," Ammar pun bangkit berdiri. "Aku hanya berpikir bahwa ini kesempatan kedua aku untuk bisa sama kamu. Aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini."

Kedua tatapan mereka kembali bertemu di udara. Benio akhirnya berpamitan. Sudah seharusnya dia pulang sejak tadi, sebelum mereka terus melakukan kesalahan dengan berada di satu ruangan yang sama hanya berdua saja.

"Dah, Mar." Benio berbalik, keluar dari apartemen Ammar.

"See you again, Ben..." balas Ammar begitu lembut.

***

Dua hari berlalu sejak Ammar dan Benio kembali berciuman di apartemen Ammar. Fauzan sudah kembali menghubungi Benio dan mereka kembali berhubungan walaupun belum tatap muka. Baru saja Fauzan kembali dari luar kota dan langsung disibukkan dengan urusan pekerjaan. Mereka akan bertemu di akhir pekan berikutnya.

Biarpun Ammar menjelaskan bahwa Fauzan mungkin ada hubungan dengan kasus-kasus pembunuhan yang terjadi, Benio terus menyangkal hal tersebut. Bagi Benio, Fauzan sama sekali tak punya motif untuk melakukan itu. Dia tak mengenal semua korban secara langsung, paling hanya melalui cerita Benio. Itu pun tak cukup untuk membuat Fauzan memiliki dendam dan melakukan tindakan sesadis itu. Kedua, Fauzan sudah cukup sibuk dengan pekerjaannya, mengurus perusahaan yang akan diwariskan padanya. Pembunuhan hanya menyita waktunya yang berharga.

Karena itulah, Benio memantapkan diri untuk menolak Ammar. Biarpun Benio tidak mengiyakan lamaran Fauzan kemarin, tapi itu hanya masalah waktu. Benio yakin dia nanti pasti akan siap dan menjadi istri Fauzan satu hari nanti. Maka dari itu Ammar harus mengerti hal ini dan berhenti mendekati Benio.

Sepulang bekerja, Benio pun menelepon Ammar. Maksudnya adalah untuk menjelaskan soal ini. Lebih baik jika bertemu, tapi jika Ammar mau bicara melalui telepon pun tidak masalah.

Telepon pertama Benio tak diangkat. Telepon kedua pun berdering cukup lama sampai Benio menganggap Ammar tak akan mengangkat teleponnya. Namun di penghujung dering, telepon itu diangkat.

"Ya, Ben." Suara Ammar terdengar serak dan sedih.

"Mar? Ada sesuatu?"

Napas Ammar terdengar berat. "Ya. Adikku kecelakaan. Sekarang sedang ditangani di IGD."

Lupa akan semua maksud dan tujuan dia menelepon, Benio segera bertanya di rumah sakit mana Ammar berada dan dia segera menyetop taksi untuk menuju ke sana. Prioritas Benio sekarang adalah menemani Ammar yang sedang gusar.

"Mar?" Benio berlari di lorong secepat yang dimungkinkan situasi. Mulutnya refleks memanggil nama Ammar begitu melihat sosok itu sedang duduk dengan wajah stress.

"Ben," pelan, Ammar memanggil nama Benio dan bangkit.

Benio segera berlari dan memeluk Ammar. Ammar memejamkan mata dan memeluk Benio, menyerahkan dirinya dalam pelukan itu. Kasus yang terjadi ini benar-benar membuatnya lemah, pikirannya kusut. Kehadiran Benio memberinya kekuatan lagi.

"Ada apa?" Benio memeluk Ammar dengan erat, mengelus rambut pria itu.

"Ambar baru pulang dari kampus. Sengaja minta aku jemput karena dia sedang kurang sehat. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri saat mobil itu sengaja menabrak Ambar yang sedang berdiri di pinggir jalan. Dia terbang dan menghantam tanah seperti boneka yang dijatuhkan begitu saja. Itu... itu mengerikan, Ben."

"Ya Tuhan." Mendengarkan ceritanya saja membuat hati Benio ikut tersayat. Apalagi melihatnya langsung. "Apakah pelakunya tertangkap?"

Masih dalam pelukan Benio, Ammar menggeleng. "Kabur. Polisi sedang menyelidiki."

Suara Ammar memang terdengar lelah dan bergetar, tapi lama kelamaan Benio mendengar Ammar menangis tertahan. Ini pasti sangat berat baginya. Ammar hanya memiliki ibu dan adiknya. Kejadian ini benar-benar membuat Ammar tertekan dan sakit hati.

Ibu Ammar menghampiri tidak lama kemudian. Benio memperkenalkan diri sebagai teman Ammar, tapi dari tatapannya, Benio sadar bahwa ibunya menganggap mereka berdua memiliki hubungan. Benio tak membantah, yang dia mau saat ini hanya menemani Ammar dan menguatkan pria itu.

Lupa dengan tujuan awalnya menelepon Ammar, Benio malah menemani Ammar di rumah sakit semalaman. Menyediakan bahu untuk bersandar, memeluk Ammar, menyediakan makanan bagi Ammar dan ibunya, mendengarkan penjelasan dokter pasca operasi dan hingga Ambar dibawa ke ICU, menyediakan paha untuk Ammar merebahkan kepalanya yang penuh.

"Ambar akan baik-baik saja," kata Benio, mengelus rambut Ammar yang berbaring di pangkuannya. "Dia akan segera sehat."

Ammar mengerjapkan mata, berusaha untuk tersenyum dan membisikkan kata terima kasih, dan menggenggam tangan Benio hingga kelelahan membawanya ke alam mimpi.

*** 

Latte Murder - END (WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang