45 - THE DEEP TALK

283 83 11
                                    

"Silakan makan yang banyak, jangan malu-malu," Zul mempersilakan Benio dan Ammar untuk melahap semua makanan yang terhidang di depan mereka. Zul mengajak Benio dan Ammar ke sebuah restoran masakan Tiongkok dan memesan makanan bagaikan ada sepuluh orang yang mengitari meja bundar ini.

Mulanya Benio dan Ammar ingin mencegah, meminta Zul memesan makanan secukupnya saja. Tapi apa daya bahwa Zul sepertinya sudah lama tak berinteraksi dengan orang lain, dia begitu bahagia saat makan bersama.

"Habiskan ya. Kalau tidak habis, nanti bisa dibungkus dan dibawa pulang," ujar Zul pada wajah-wajah kaget dan takjub dari Ammar dan Benio. "Ada keluarga di rumah?"

Benio dan Ammar saling melirik sebelum keduanya kompak menggeleng.

"Benio sudah tidak punya keluarga," Ammar mengajukan diri menjawab. "Dia tinggal sendirian–dulu. Sekarang dia tinggal bersama saya. Ibu saya tinggal di rumah yang berbeda."

Zul agak melongo mendengar berita bahwa Ammar dan Benio tinggal bersama.

"Bukan seperti yang Bapak pikirkan," Ammar bergerak salah tingkah. "Kemarin Benio mendapat musibah di tempat tinggalnya, jadi saya menawarkan tempat di apartemen saya. Untuk sementara."

Walau dalam hati, sesungguhnya Ammar tak keberatan jika Benio memilih tinggal selama-lamanya.

"Begitu. Masalah apa, kalau boleh tahu?"

Benio menggeleng, tidak bersedia bercerita. Pasalnya, masalah yang terjadi mungkin ada kaitannya dengan Melinda. Karenanya, Benio belum bersedia untuk bercerita begitu jujur. "Masalahnya terlalu pelik, Pak. Sepertinya tidak sebaiknya saya ceritakan."

Zul pun mengangguk paham, menghormati privasi Benio.

"Saya pun sekarang tinggal sendirian," Zul memulai curhat, sepertinya nyaman dengan Ammar dan Benio. "Istri saya meninggal, Melinda meninggal tanpa sempat menikah apalagi memberikan cucu. Hari-hari saya hanya diisi pekerjaan di yayasan. Itupun tidak sesibuk ketika saya masih aktif di dunia politik. Ada pegawai di rumah yang datang dan pergi tapi yah, kalian tahu, itu berbeda artinya dengan memiliki keluarga sendiri."

Zul memberi jeda. Belum sempat Benio menanggapi, Zul sudah melanjutkan lagi.

"Anak saya yang satunya pun entah di mana."

Ammar melirik Benio tapi memutuskan dia angkat bicara sendiri. "Apa Pak Zul tidak berniat mencari keberadaan anak itu?"

Zul menarik napas dalam lalu menatap langit-langit.

"Ingin pun, saya tidak tahu bagaimana mencarinya. Kami berhubungan gelap saat saya sedang berada di puncak karir politik. Saya menyayanginya sepenuh hati. Perempuan pintar dan kecantikan yang unik. Namun ketika dia tahu dia hamil dan saya sudah beristri, dia sendiri yang memutuskan pergi." Zul memainkan sendok. "Saya masih muda saat itu dan saya sempat nekat meminta dia untuk bertahan. Namun dia tidak mau, tidak bersedia menjadi perusak keluarga orang lain. Dia hanya meminta saya untuk tetap membiayai hidupnya dan anaknya. Itu penawaran terbaik yang bisa dia berikan, dan saya terima."

Ammar menahan napas. "Itu artinya Pak Zul bisa melacak ke pihak bank untuk melihat di mana dan siapa yang menarik dana dari rekening tersebut!"

Zul tersenyum melihat Ammar yang begitu antusias.

"Saya juga mengira begitu. Namun rekening itu ditutup sekitar 15 tahun kemudian. Saya mentransfer seperti biasa namun ditolak. Pihak bank menyatakan bahwa rekening itu sudah ditutup."

"Apa tidak ada yang pernah mencari Bapak? Ingin tahu siapa yang mengiriminya dana setiap bulan?"

Zul menggeleng lagi. "Tidak ada. Sepertinya tidak ada yang mau terhubung dengan saya lagi. Lagipula saya mengusahakan agar dana tersebut tidak langsung terkait dengan nama saya. Bisa membahayakan posisi saya di pekerjaan."

Ammar mengangguk paham. Dia menoleh kepada Benio dan baru menyadari bahwa sedari tadi Benio tertunduk. Ammar merasa harus bertanya satu hal lain.

"Apakah... Bapak masih ingat nama kekasih Bapak itu?"

Zul malah tertawa. "Jangankan ingat, fotonya saja saya masih punya."

Ammar menelan ludah. "Kami boleh melihatnya?"

Zul merogoh dompet di sakunya. Dompet kulit dengan merk terkenal diletakkan di atas meja. Dari saku dompet terdalam, Zul mengeluarkan sebuah foto yang terlipat dan sepertinya sudah lama disimpan di sana.

Di foto itu, Zul berdiri di samping seorang perempuan berambut coklat panjang. Tangan Zul merangkul pundaknya dan perempuan itu merangkul pinggang Zul. Keduanya tertawa menghadap kamera.

"Dia teman saya di sekolah yang sama. Mirisnya, istri saya juga mengenal dia." Zul pelan-pelan membalikkan foto itu untuk menunjukkan tulisan di sana.

Zul & Safeeya. 19xx.

"Wajahnya cantik. Namanya juga cantik. Saya tidak akan pernah lupa padanya." Zul melipat foto itu dengan hati-hati lalu memasukannya kembali ke dalam dompet. "Dia pergi ketika masih dalam keadaan hamil. Saya bahkan tidak tahu siapa nama anak kami itu."

Ammar merasa cukup. Dia tidak lagi memancing Zul untuk bercerita apapun. Dia mengalihkan pembicaraan kepada topik-topik lain yang bukan hal pribadi. Tapi dalam percakapan itu, Benio bungkam. Dia hanya mengangguk, tertawa sedikit, menggeleng, mengucapkan terima kasih. Zul tak merasa aneh dengan sikap Benio, mengira mungkin Benio memang anak yang pendiam. Tapi Ammar tahu Benio sedang memikirkan sesuatu.

"Mar... Boleh nggak, kita mampir ke apartemenku?" tanya Benio saat mereka dalam perjalanan pulang setelah selesai makan malam.

"Kamu yakin?"

"Hanya untuk ambil beberapa barang. Setelah itu kita kembali ke apartemen kamu."

Ammar mengangguk. Diarahkannya mobil menuju apartemen Benio. Di apartemen itu, dipasang garis kuning milik Polisi. Benio melepas salah satunya lalu melompat masuk ke dalam kamarnya. Hal ini mengingatkan Benio untuk mencari tempat tinggal lain dan membayar ganti rugi kepada pemilik. DIa tidak mungkin terus tinggal di sini ataupun di apartemen Ammar, walau Ammar tidak keberatan.

Benio segera memasuki kamarnya dan mengambil boks berisi barang-barangnya dari masa kecil. Benio tumbuh bersama Kakek. Banyak barang yang berharga baginya adalah barang yang dibuatnya bersama Kakek atau memiliki memori bersama Kakek.

Kakek yang tidak punya uang banyak namun tetap berusaha memenuhi kebutuhan Benio. Menjelang akhir hayatnya, barulah Kakek menyebutkan bahwa kebutuhan hidup Benio–terutama pendidikannya, diambil dari tabungan yang ditinggalkan ibunya. Benio menerima sejumlah uang, juga buku rekening yang menyatakan dari sanalah dana itu berada, yang sekarang sudah tidak aktif lagi. Benio tidak peduli jumlah dananya, tidak peduli siapa pemilik rekening itu, tidak peduli dari mana uang itu berada. Yang dia pedulikan hanya Kakek, dan harapannya saat itu agar Kakek tetap hidup lebih lama.

Memang uang itulah yang membantu Benio bertahan, walau Benio memilih untuk tak banyak menggunakannya selain untuk biaya kuliahnya. Ketika dia sudah bekerja, Benio sama sekali tak menyentuh uang itu lagi. Sekarang aman dalam rekening atas namanya yang dibuat baru sengaja untuk menyimpan dana tersebut.

Tapi cerita Zul tadi mengusik rasa penasaran Benio. Dia melihat secercah harapan dan secuil pertanyaan. Itulah alasannya Benio akhirnya mengambil buku rekening yang disimpan di dalam plastik. Pertama kali dalam puluhan tahun, Benio melihat siapa nama yang tertera dalam buku tersebut.

Safeeya Mustika.

Tangan Benio mendadak bergetar. Buku itu jatuh ke pangkuannya. Informasi-informasi itu mendadak terhubung menjadi sebuah fakta. Meskipun tak berharap, ternyata Benio masih punya keluarga.

Benio menangis tergugu di lantai kamarnya. Ammar memilih untuk berdiri di luar, memberi Benio waktu.

***

Ternyata ternyata.... 

Latte Murder - END (WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang