44 - THE GRAVE

309 80 10
                                    

Merasa telah mendekati pada kebenaran kasus, Benio meminta Ammar menemaninya untuk mendatangi makam-makam dari teman-teman mereka yang telah tiada. Ammar menemani tanpa bertanya. Mereka mendatangi makam Al pertama kali. Seperti sudah diduga, makam Al penuh dengan bunga-bunga dari rekan kerja maupun para penggemar. Benio tidak bisa berlama-lama di sana karena selalu saja ada orang yang melayat ke makam Al.

Berpindah ke taman pemakaman yang lebih umum, di sanalah makam Patrick berada. Berbeda dengan Al, makam Patrick hanya sederhana. Batu nisan yang sama dengan makam-makam di sebelahnya, terawat sesuai prosedur pengurus makam. Tidak ada bekas bunga-bunga, sepertinya belum ada yang melayat ke sini selama sebulan terakhir.

Makam Jordan dan Carolina diletakkan berdampingan. Sepertinya pihak keluarga sepakat untuk meletakkan kedua makam di tempat yang sama. Biarpun keduanya sudah disingkirkan oleh keluarga, namun kejadian ini sepertinya menyatukan mereka kembali. Merasakan kehilangan yang sama atas putra putri yang mereka sayangi. Di makam ini, meskipun suasananya sepi, namun ada bunga segar yang diletakkan di dalam vas pada masing-masing makam. Benio memperhatikan itu, merasakan adanya perhatian yang rutin diberikan kepada almarhum. Sepertinya, keluarganya juga menyesal begitu dalam atas kehilangan yang terjadi secara tragis.

Lokasi makam Jordan dan Carolina lebih dekat ke arah makam Arya. Maka ke sanalah Benio dan Ammar menuju lebih dulu. Makam Arya berada di taman pemakaman umum yang banyak diisi oleh masyarakat. Lokasinya berada di bawah pohon sehingga Benio merasa bahwa Arya tidak akan merasa kepanasan. Kembali Benio juga berdoa demi kehidupan setelah meninggal bagi teman-temannya. Namun di sini, Benio juga berdoa agar orang tua Arya diberikan kekuatan setelah ditinggal oleh putra satu-satunya.

Tujuan terakhir adalah makam Melinda. Melinda dimakamkan dalam satu area pemakaman pribadi yang sudah dipesan oleh beberapa keluarga. Ketika Benio dan Ammar diarahkan oleh petugas makam, dia berpesan bahwa mereka mungkin tidak akan sendirian.

Benar saja. Ketika Benio sampai di area pemakaman yang sudah dipesan untuk keluarga Melinda, ada orang lain sedang duduk di antara kedua makam, makam Melinda dan makam ibunya. Menyisakan satu tempat kosong di sisi lain Melinda, yang Benio duga untuk ayahnya.

Mulanya, Benio sangsi untuk menghampiri, karena sepertinya orang itu–yang kemungkinan besar adalah ayah Melinda, Pak Zul–butuh waktu untuk sendirian. Ketika Benio bimbang, Ammar mendorongnya maju, namun Benio bingung. Perdebatan mereka yang tanpa suara sepertinya diketahui Zul. Beliau pun menoleh.

"Kalian yang pernah datang ke rumah Melinda ya?" sapanya.

Ammar dan Benio pun mengangguk.

"Silakan." Beliau berdiri dan bergeser, memberi ruang bagi Ammar dan Benio untuk berdoa.

Benio pun menunduk, berdoa di depan makam Melinda didampingi Ammar. Berdoa untuk kedamaian hidupnya di sana. Benio berdoa lebih lama dari Ammar, sehingga Ammar memiliki kesempatan untuk memandangi dua orang hidup di sebelahnya dan merasa hipotesanya memiliki kebenaran.

"Bapak sering ke sini?" tanya Ammar setelah mereka berdua selesai berdoa.

Sekarang ketiganya duduk di undakan area pemakaman keluarga Melinda. Di kejauhan terdapat pemandangan gunung yang indah.

"Selesai dari rumah Melinda, saya ke sini," jawabnya. "Kalian?"

"Ini pertama kalinya kami ke sini," jawab Ammar.

Beliau mengangguk. "Terima kasih sudah memberi perhatian untuk Melinda."

"Melinda pasti senang dimakamkan di sini. Pemandangannya bagus," kata Benio, dia menatap ke depan dan bibirnya tersenyum.

"Ya," Zul mengangguk setuju. "Tempat ini dipesan oleh saya dan ibunya tidak lama setelah kami menikah. Ketika ibu Melinda pertama kali merasakan gejala sakit. Menyadari hidupnya tak lama lagi, dia mencari tempat pemakaman indah untuk peristirahatan terakhir."

"Lalu seperti yang kalian lihat, kami memesan tiga tempat sekaligus. Untuk saya dan Melinda juga. Siapa sangka, yang akan mengisinya lebih dulu adalah Melinda dan bukan saya."

Benio ikut merasakan kesedihan yang terasa dari ucapan beliau.

"Kami ikut sedih..."

Zul pun tersenyum, mengisyaratkan tidak apa-apa. "Sebenarnya, kalian ini pacaran atau menikah?"

Pertanyaan itu membuat Benio dan Ammar sama-sama tersentak. Karena mereka bukan keduanya. Benio gelagapan, bingung mau menjawab bagaimana. Maka Ammar lah yang mengambil inisiatif.

"Saya masih berusaha supaya dia mau jadi istri saya, Pak. Mohon doanya."

Wajah Benio segera memerah mendengar kalimat Ammar. Ammar seakan lupa bahwa Benio baru saja putus dengan Fauzan. Sekarang dia dengan mudahnya mengatakan bahwa Benio akan menjadi istrinya.

Refleks, Benio mendorong lengan Ammar.

Zul tertawa. "Mau saya kasih tips supaya dia luluh?" Beliau pura-pura berbisik pada Ammar padahal Benio bisa mendengar.

"Boleh dong, Pak."

Mereka terus mengobrol hingga tanpa terasa mentari hampir tenggelam. Mereka bertiga mendadak teramerasakan keakraban yang lebih dalam. Bahkan ketika Benio dan Ammar pamit, Zul berkeras mengajak mereka makan malam. Akhirnya mereka tak punya pilihan selain menerima permintaan Zul, ayah Melinda.

Ammar merasa seperti seorang laki-laki yang sedang mendekati ayah dari perempuan yang ingin dia nikahi. Mungkin itu hanya perasaannya. Karena di depannya, Zul dan Benio tetap bersikap bagai seorang Bapak yang mengobrol dengan teman putrinya.

***


Vote dan komennya boleh kakaa~ 

Latte Murder - END (WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang