32 - THE PROPOSAL

279 78 11
                                    

Akhir pekan kali ini Benio kembali mendedikasikan waktunya untuk Fauzan, sang pacar sebenarnya. Selain karena memang Fauzan sudah tidak pergi ke luar kota atau ke luar negeri, Benio pun semakin merasa bersalah kalau terus menghabiskan waktu dengan Ammar.

Sejak pagi hari Benio sudah bersiap. Kapanpun Fauzan datang untuk menjemputnya, Benio akan segera meluncur. Pacarnya itu pun sudah mengingatkan Benio untuk menggunakan pakaian yang nyaman. Mereka akan beraktivitas cukup lama sepertinya. Benio pun sudah siap jika Fauzan akan mengajaknya keluar seharian penuh.

Bagaimana jika Fauzan mengajaknya menginap? Benio menggeleng. Selama setahun berpacaran dengan Fauzan, dia tidak pernah mengajak Benio bermalam.

Mengingat itu, Benio menelan ludah. Dengan pacarnya saja dia tidak berbuat aneh—hal yang lebih dari sekedar ciuman. Dengan Ammar, dia bahkan sudah bercinta.

"Astaga," Benio menggeleng berkali-kali. Tidak baik mengingat Ammar ketika dia akan bertemu dengan Fauzan. Sekali lagi Benio berkaca di cermin, memastikan penampilannya sempurna untuk bertemu sang pacar.

"All good," Benio tersenyum.

Fauzan sampai lima belas menit setelah Benio mematut diri di depan cermin. Sekali ini Benio berusaha keras untuk mengenyahkan ingatan tentang Ammar, ataupun perasaan yang dia rasakan pada pria itu. Tidak penting, apalagi saat dia bersama dengan Fauzan.

Fauzan pun berusaha keras untuk menjadi pacar yang baik. Diajaknya Benio bersenang-senang ke kebun binatang, makan di taman beralaskan tikar piknik, ditemani angin sepoi-sepoi. Puas beraktivitas di luar, Fauzan mengajak Benio menonton film. Tangan keduanya bertaut dan Benio bersandar pada Fauzan.

Sekali lagi Benio merasakan kebahagiaan berpacaran dengan Fauzan. Sama seperti sebelum Ammar datang kembali ke hidupnya.

Fauzan mengajak Benio makan malam di salah satu restoran yang letaknya di atap gedung tinggi. Restoran yang setahu Benio, didatangi selebriti dan untuk datang ke sana, harus berpenampilan super rapi.

Ketika Benio memprotes ajakan itu—mengatakan pakaiannya terlalu biasa, Fauzan menggeleng. "Yang penting kamu pakai baju yang benar, pakai sepatu, dan aku punya uang, Ben."

Jika Fauzan sudah berkata begitu, Benio tak punya alasan untuk membantah.

Makanan pembuka disajikan, dilanjut makanan utama. Awalnya Benio merasa kaku, lama kelamaan dia terbiasa dan merasa nyaman. Toh tak ada pengunjung yang menatapnya dengan aneh. Para pelayan pun memperlakukannya dengan sopan.

Ketika makanan penutup disajikan, Benio menyambut strawberry cheesecake dengan gembira. Salah satu makanan enak yang dia sukai. Fauzan pun ikut senang melihat tanggapan Benio.

Namun tiba-tiba sendok Benio membentur sesuatu yang keras. Seingatnya, tak ada bagian keras dalam sebuah cake.

Benio mencongkel bundaran itu. Seperti sebuah coklat yang dikeraskan membentuk bulatan yang lebih besar dari kelereng. Benio menghancurkan itu dengan garpunya, lalu memekik melihat isinya.

"Ben," Fauzan tiba-tiba berdiri, mengambil cincin yang muncul dari dalam kue, lalu berlutut. "Kita sudah pacaran cukup lama, sudah saling kenal, dan aku merasa sangat cocok sama kamu. Maukah kamu menikah denganku, Ben?"

Jantung Benio berdebar begitu cepat karena kaget. Tak pernah mengira bahwa Fauzan akan melamarnya secepat ini. Benio juga mendadak bimbang, perasaannya kepada Fauzan sedang goyah pada Ammar. Dan lagi, Benio sudah tak setia pada Fauzan. Bisakah dia menerima permintaan Fauzan?

"Jan, aku..."

Benio kehalangan kata-kata. Orang-orang di sekitar mereka mulai memperhatikan. Beberapa terlihat bersemangat, ingin menjadi saksi acara lamaran.

"Ben?"

Benio menelan ludah. Pelan-pelan dia menarik tangannya dari pegangan Fauzan.

"Maaf, Jan. Aku sayang kamu, tapi untuk kita menikah sekarang..."

Ekspresi Fauzan seketika berubah. Dia mulai marah.

"Pasti karena orang itu! Ammar kan?"

Benio semakin merasa bersalah. "Bukan, Jan. Ammar nggak ada hubungannya sama ini. Aku cuma kaget..."

"Bohong. Kamu berubah sejak ketemu Ammar di pulau! Apa yang dia lakukan ke kamu? Apa yang kalian lakukan waktu kalian bertemu?"

Benio bungkam. Bingung.

"Nggak, Jan."

"Jujur sama aku atau ada hal buruk terjadi sama Ammar!" Fauzan membentak. Suaranya yang lantang mengejutkan Benio dan para pengunjung yang tadinya ikut bahagia untuk mereka. Semuanya memalingkan muka, tidak mau ikut terlibat pertengkaran pasangan.

"Jan, kita baru pacaran satu tahun. Aku belum siap menikah." Benio memberi alasan, berusaha terlihat memelas agar Fauzan tak marah. Alasan itu memang benar, selain rasa bersalahnya karena bersama Ammar.

"Kenapa ya aku nggak percaya sama kamu?" Fauzan mendesis berbahaya. "Kamu mempermalukan aku, Ben. Ayo pulang!"

Fauzan menarik tangan Benio. Tidak peduli saat itu Benio sedang duduk, sehingga tarikan Fauzan membuat Benio hampir kehilangan keseimbangan.

"Jan, lepas," Benio mendesis.

Fauzan tak mendengar. Saat membayar tagihan, saat di dalam lift, saat menuju mobil, Fauzan terus memegang tangan Benio. Benio meringis kesakitan tapi tak berani melawan.

Fauzan tak pernah seperti ini. Benio lah yang merasa bersalah. Mungkin benar karena penolakannya lah yang membuat Fauzan murka. Benio pun tak sempat memikirkan ancaman Fauzan terhadap Ammar.

Bagi Benio saat ini, dia ingin menangis. Pergelangan tangannya sakit, pikirannya bimbang.

*** 

Latte Murder - END (WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang