47 - THE ALIBIS

296 76 8
                                    

Ammar masih bekerja dengan laptopnya di suatu kafe ketika orang yang ditunggunya sudah tiba. Setengah jam lebih cepat dari yang dijanjikan. Karena sudah terbiasa, dia pun langsung duduk dan menyerahkan amplop kepada Ammar. Dia bahkan tidak memandang Ammar, langsung memesan kopi kepada pelayan.

Ammar pun tidak kaget dengan kedatangan orang yang tiba-tiba muncul di depannya. Dia langsung mengambil amplop dan mengeluarkan isinya.

"Jadi gimana kabar si putri?" Tanya orang itu setelah selesai memesan.

"Baik. Sudah mulai kerja lagi," jawab Ammar, berhenti memeriksa dokumen supaya bisa menatap lawan bicaranya dengan lebih baik.

Tio mengangguk. "Itu alasan kamu ajak ketemu saya jauh dari tempat biasanya?"

"Iya, Om. Saya masih belum tenang selama Fauzan belum dihukum. Dia bisa membahayakan Benio." Ammar terlihat prihatin.

Hampir dua minggu sejak penyerangan yang dilakukan Fauzan ke rumah Benio dan tidak ada tanda-tanda Fauzan akan ditangkap. Benio masih tinggal bersama Ammar, bahkan Ammar sudah menawari Benio untuk benar-benar tinggal di sana. Benio sudah mulai mempertimbangkannya. Tapi selama belum ada kepastian soal Fauzan, Ammar masih khawatir akan kondisi Benio. Maka ketika akhirnya Benio berani kembali bekerja, Ammar pun mengantar dan menjemputnya. Benio sebenarnya keberatan, tapi Ammar memaksa. Dia tidak mau ada hal buruk terjadi lagi. Apalagi Fauzan tahu tempat kerja Benio.

"Saya harap informasi ini mendekatkan kalian pada jawaban. Orang sipil yang hidup dalam ketakutan itu tidak menyenangkan," Tio berkata dalam nada muram.

Tio adalah rekan kerja ayahnya dulu. Sekarang masih bekerja di Badan Intelijen sementara ayah Ammar telah gugur. Mulanya Ammar melihat Tio hanya sebagai rekan kerja ayahnya. Berbadan kecil namun dengan wajah sangar, walau saat bermain dengan Ammar dan Ambar, Tio sangat menyenangkan. Tidak punya istri apalagi anak. Hidupnya diabadikan untuk negara.

Begitu kasus pembunuhan muncul, Ammar meminta bantuan Tio untuk penyelidikan. Itulah kenapa Ammar tahu beberapa hal yang tak diungkapkan ke publik.

"Selesaikan ini segera, Mar." Tio berpesan. Kopinya sudah tiba dan dia mereguknya dalam sekali tegukan. "Saya tidak mau lagi bekerja sampingan yang tak ada uangnya."

Ammar tertawa. Tio terkesan enggan padahal sebenarnya dia rela melakukan banyak hal demi Ammar dan dulu, juga dengan Ambar.

"Nanti saya traktir makan, Om."

"Tidak. Kecuali si Putri ikut." Tio tersenyum tipis dan bangkit.

"Hati-hati, Om."

Tio pun pergi. Saatnya Ammar menelisik informasi yang berhasil dikumpulkan Tio. Kali ini informasi yang Ammar minta adalah tentang keberadaan ponsel Fauzan pada tanggal-tanggal di mana kasus pembunuhan terjadi.

Dokumen milik Tio berupa daftar, sudah dibagi per lembarnya berdasarkan tanggal, tertulis lokasi per hari ponsel itu berada. Ammar sudah memiliki daftar sendiri tentang lokasi teman-temannya dibunuh. Ammar mencocokkan kedua lokasi itu berdasarkan jarak, apakah mungkin menggunakan mobil atau dicapai dengan berjalan kaki.

Lokasi pembunuhan Al dengan kafe tempat Fauzan berada, sepertinya untuk rapat bersama klien, hanya berjarak 500 meter. Jika berlari, bisa ditempuh 10 menit pulang pergi. Ditambah proses kejadian, 30 menit pun cukup. Polisi tidak melihat kemungkinan ini karena mungkin saja mereka tidak mengira bahwa Fauzan ada kaitannya dengan hal ini.

Di hari Patrick dibunuh, Fauzan berada di salah satu kantor cabang perusahaannya. Jaraknya 2 kilometer. Ammar menggaruk dagunya. Ini membutuhkan kendaraan. Entah mobil atau motor. Ammar mencatat dalam hati untuk mencari tahu kepemilikan motor Fauzan.

Ketika Jordan dibunuh kejadiannya dini hari. Tentu saja di hari itu atau malam sebelumnya Fauzan ada di rumahnya. Alibinya harus dicek pada penghuni rumahnya atau juga CCTV di sana. Pertanyaannya, siapa yang mau menyelidikinya?

Pun saat Caroline meninggal, dengan rem blong, Fauzan tak mendekat sedikit pun ke rumah Caroline. Apalagi mobil yang dipakai Caroline adalah mobil operasional tokonya.

Ammar bergerak ke hari di mana Melinda ditemukan terbunuh. Ini lebih memusingkan lagi. Fauzan baru mendarat dari luar kota dengan waktu yang kurang lebih sama dengan waktu kematian Melinda. Jarak Bandara dengan rumah Melinda terbilang jauh.

Harapan terakhirnya, Arya. Lokasi mobil Arya yang menjadi TKP berjarak cukup dekat dengan lokasi di mana Fauzan berada. Sebuah club mewah. Apakah mungkin Fauzan menyelinap sejenak?

Ammar mendorong kertas-kertas itu. Kepalanya digaruk karena bingung. Ini tidak jadi bukti yang cukup kuat. Tapi Ammar yakin bahwa Fauzan pasti ada kaitannya dengan kematian keenam temannya, dan mungkin dengan Ambar juga. Entah sebagai pelaku atau sebagai otak kejahatan ini.

***

Hmmm, bagaimana menurutmu? 

Latte Murder - END (WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang