Selalu saja terjadi seperti ini. Memangnya manusia tidak punya batas kesabaran? Tentu saja punya. Dokja mengepalkan kedua tangannya hingga buku jarinya memutih.
"Sudah cukup. Gue berhenti." Pandangan Dokja masih tertuju pada genangan air yang ada di lantai. Genangan air itu bersumber dari bajunya yang basah karena kehujanan.
"Lu tadi bilang apa?" Yoo Joonghyuk melirik Kim Dokja dengan sudut matanya. Kedua tangannya memegang lembaran kertas naskah shooting untuk adegan berikutnya.
"....." Dokja terdiam. Tidak ada cahaya yang terlihat di matanya. Dia seolah menyimpan ribuan kata dalam diamnya.
"Acting lu tadi engga buruk. Gue pikir lu bisa—" perkataan Joonghyuk terpotong.
"CUKUP!" Suara Dokja yang tinggi membuat semua crew shooting dan para pemain melirik ke arahnya. Termasuk Joonghyuk dan juga Sangah.
"Gue capek," ujar Dokja sembari melepaskan jasnya lalu membantingnya ke lantai.
"Lu kenapa sih?" Joonghyuk menatap Dokja aneh.
Dokja tidak menjawab. Langkah kakinya dengan cepat membawanya keluar dari lokasi shooting yang ada di bawa jembatan layang.
"Dokja." Sangah bangkit dari duduknya.
"Lu mau ngapain? Biarin aja tuh anak. Paling lagi kesetanan," cecar Joonghyuk.
"Hey, kok lu bisa ngomong kayak gitu sih?" protes Sangah kesal, tapi dirinya tidak bisa bekata lebih karena tatapan Joonghyuk yang sangat dingin dan mengintimidasinya.
Novel ini hanya terbit di WP dan MT, kalau kalian baca di selain ini bisa dipastikan itu adalah malware webmirror. Silakan dukung penulis di sini http://w.tt/3Ijg6yx terima kasih.
Di sisi lain, sesampainya di hotel, Dokja lekas mandi dan berganti baju. Setelah selesai, Dokja langsung pergi menaiki taksi yang kebetulan baru mengantarkan penumpangnya ke hotel.
Dokja kesal. Dia teramat kesal dan jengah dengan semua tindakan ekstreem yang dilakukan Joonghyuk padanya. Dari mulai melemparkan bola basket padanya hingga mendorongnya keluar saat kereta masih berjalan.
Shooting kali ini pun begitu, seharusnya Dokja tidak perlu membuat bajunya basah, tapi Joonghyuk terus saja mendesak sutradara agar Dokja tetap melanjutkan shootingnya meski saat itu hujan angin sangat deras. Dia bahkan hampir terkena banner toko yang jatuh karena terbawa angin.
Dokja terdiam. Dia kemudian mengirim pesan pada sutradaranya. Sebuah pesan yang mengungkapkan keinginannya untuk berhenti.
Dokja: Gue berhenti. Masih banyak trainee yang bisa gantiin gue. Urusan denda bakalan gue bayar paling telat tiga bulan dari sekarang.
Tentu saja pesan Dokja ini membuat sang sutradara langsung menelponnya, tapi Dokja tidak peduli. Dia bukan hanya menolak panggilan, tapi juga mematikan ponselnya. Apa yang dia inginkan saat ini hanyalah kesehatan mental dan waktu berkualitas untuk dirinya sendiri.
Seiring waktu, taksi pun sampai di kawasan komplek emas. Sebenarnya Dokja tinggal di komplek nebula, tapi dirinya juga memiliki kediaman di komplek emas karena dulu sempat terpikat rayuan seorang sales yang menjual rumah di komplek emas.
Rupanya tidak buruk juga punya kediaman lain. Dokja menggores senyum getir di wajahnya. Tidak ada seorang pun dari kawannya yang tahu kalau Dokja punya rumah di komplek emas dan hal ini menguntungkannya agar tidak diganggu orang lain.
"Pak, berhenti di depan sana aja," ujar Dokja sambil menunjuk sebuah swalayan. Dokja teringat kalau dirinya harus membeli bahan makanan dan juga beberapa barang untuk rumah barunya yang akan lebih sering dipakai.
Dibandingkan saat masih di kawasan shooting, kondisi di komplek emas blok D jauh lebih cerah dan hanya sedikit mendung. Mungkin inilah yang disebut beda lokasi beda awan.
"Ah, laparnya." Dokja pun pergi ke cafe terbuka yang ada di samping swalayan. Dia memesan semangkuk bakso, kentang goreng, dan segelas jus aplukat.
Dokja menikmati makanannya dengan tatapan kosong hingga kemunculan dua orang laki-laki yang baru turun dari sebuah Moto Guzzi California. Dokja tahu kalau motor gede itu tidaklah murah, harganya pasti diatas 700jt.
Apa itu miliknya? Masih muda, tampan, dan juga kaya. Benar-benar luar biasa. Meski batin Dokja terpukau, tapi Dokja menatap kemunculan Jinwoo dan Cale dengan tatapan tidak bersemangat.
"Kamu mau makan dulu engga?" tanya Jinwoo sembari membantu Cale melepaskan helm dari kepalanya.
"Makan? Bukannya tadi kita sudah makan? Memangnya perutmu terbuat dari karet, hah?" tanya Cale gusar.
"Siapa tahu aja kan, aku pikir kamu lapar, sejak tadi kuat banget meluknya."
"Itu semua salahmu."
"Salahku apa lagi sekarang?"
"Kalau kau mau mati silakan, tapi jangan ajak orang lain. Aku tidak ingin mati karena ulahmu yang ugal-ugalan di jalan," jelas Cale sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Maaf ya, aku traktir dua ice cream mochi deh untukmu," ujar Jinwoo sambil mengelus rambut merah Cale.
"Kalau rasa ice creamnya tidak enak kau berhutang lebih banyak padaku."
"Iya-iya." Jinwoo pun masuk ke kedai ice cream bersama Cale.
Dokja terdiam sejenak. Seandainya saja hubungan dirinya dengan Yoo Joonghyuk bisa seharmonis itu pastilah keadaan tidak akan jadi seperti ini.
Laki-laki tinggi itu berpakaian simple dan serba hitam putih, tapi tetap terlihat keren. Sedangkan yang satu lagi sangat berwarna, tapi modis dan Dokja pun bisa menilai kalau harga bajunya sangat mahal dari ujung kepala hingga kaki. Dua orang kaya yang entah bagaimana pergi membeli jajanan di tempat yang bisa disebut tidak hits.
Ah, apa bedanya dengan dirinya sendiri? Dokja kembali melihat dirinya. Dia adalah seorang pemain film yang punya banyak popularitas, tapi kini sedang makan di cafe yang tidak dikenal banyak orang.
Tanpa sadar, kentang goreng yang ada di piring kini sudah habis tidak bersisa, begitu pula dengan makanan yang lain. Dokja pun memutuskan untuk membayar makanannya di kasir sebelum kemudian pergi menuju swalayan.
Dokja mengambil beberapa barang dari mulai alat kebersihan hingga bahan makanan. Troli yang didorongnya pun kini sudah penuh. Dokja tinggal menunggu antrian kasir untuk membayar.
"Aku harap kau tidak banyak meliriknya." Sebuah suara membuat Dokja terkejut. Dia pun melihat ke belakang dan mendapati Cale ada di belakangnya.
Seorang laki-laki berambut merah dengan pakaian super modis nan berwarna. Dia tidak membawa keranjang atau pun troli, tapi hanya beberapa mainan karet di tangannya. Bukankah dia adalah orang yang sempat Dokja lihat tadi? Apakah Cale menyadari kalau Dokja sempat memperhatikannya bersama Jinwoo?
Sepertinya iya. Dokja tahu itu. Bagaimana mungkin Cale bisa tiba-tiba melarangnya kalau dia tidak sadar sedang diperhatikan?
"Kalau lu mau ke kasir duluan silakan," ucap Dokja seramah yang dia bisa.
"Tuan, kau sangat murah hati sekali." Cale tersenyum lalu menyela antrian Dokja di kasir.
Selagi kasir men-scan pesanan seorang ibu muda, Cale kembali melirik Dokja. Cale tersenyum, tapi tentu saja apa yang ada di hati dan otaknya sangat bertentangan.
"Kau ingat kan dengan apa yang aku bilang sebelumnya?" tanya Cale dengan bibir tersenyum, tapi kedua bola matanya terlihat sinis.
Dokja mengangguk dengan wajah ramah yang dipaksakan. "Ya, tenang saja."
"Berikutnya," ujar sang kasir. Segera saja Cale membayar semua mainan yang dibelinya lalu pergi tanpa pamit sama sekali.
Dokja hanya bisa diam. Meski sudah dibilang jangan melirik, tapi Dokja tetap tidak bisa mengabaikan apa yang menarik hatinya. Dengan sudut matanya, Dokja dapat melihat Jinwoo yang tersenyum menyambut Cale dengan beberapa mainan yang dia sombongkan.
Dokja kembali melihat belanjaannya yang sedang di-scan kasir. Ada hal yang baru disadari oleh Dokja saat ini.
"I don't wanna be alone," lirih Dokja.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hottest Family
FanfictionIni kisah tentang para penghuni komplek yang menamakan diri sebagai Random Guy (RG) Family. Mereka tidak terlalu peduli pada penilaian orang dan sering berbuat sesukanya. Penampilan mereka yang tampan dan berkarisma membuat semua orang memberikan la...