SPECIAL [1/3]: Happy Birthday Dokja Kim!

2K 223 4
                                    


Apa itu ulang tahun? Bagi Dokja semua hari sama saja. Tidak lebih dari pengulangan yang memuakkan. Hari ini pun sama, Dokja terbangun dari tidurnya bersama pening yang memberatkan kepalanya.

Sudah berapa lama Dokja tidur? Dia sendiri pun tidak sadar.

Seharusnya badannya jauh lebih ringan setelah tidur, tapi nyatanya pegal menjalar di pundak dan beberapa sendi badannya. Menjengkelkan. Ini terasa seperti tidak pernah tidur sedikit pun.

"Hoaaam." Dokja menguap sebelum kemudian pergi ke kamar mandi dan membersihkan dirinya.

Tidak ada makanan yang tersisa di dalam kulkas selain beberapa botol kaleng minuman dan sekantung roti yang telah kadaluarsa. Dokja pun hanya bisa menghela napas dan memutuskan untuk pergi keluar dari kediamannya.

Langkah kakinya tidak menentu. Dokja sendiri tidak tahu harus pergi ke mana. Dia hanya berjalan dan terus berjalan hingga akhirnya sampai di halte bus.

Ke mana Dokja harus pergi sekarang? Dokja mulanya ragu, tapi rasa lapar yang menggerogoti perutnya membuat Dokja memutuskan untuk pergi ke tempat makan yang menurutnya enak meski dia harus menaiki bus terlebih dahulu untuk sampai ke sana.

"Ahh, aku hanya perlu menunggu sepuluh menit lagi," lirih Dokja saat melihat jadwal kedatangan bus. Dia pun kemudian duduk di kursi batu yang ada di halte.


Duduk menantikan kedatangan bus dengan tatapan redup ke arah aspal jalan. Seolah Dokja tidak punya tujuan apa pun di dalam hidupnya.

"Kakak." Terdengar suara mungil yang sedikit cempreng.

"Huh?" Perhatian Dokja pun teralihkan pada seorang gadis berseragam putih abu yang ada di hadapannya. Tertulis nama Park Haneul di tag baju seragamnya.

 Tertulis nama Park Haneul di tag baju seragamnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Emm... Maaf. Kakak mau beli ini?" tanyanya sambil menyodorkan setangkai mawar pada Dokja.

"...." Dokja terdiam beberapa saat. Dia tidak berminat untuk membeli setangkai mawar. Memangnya untuk apa? Dia sendiri bahkan tidak memiliki vas yang sesuai untuk menaruhnya.

"Ini tugas sekolahku. Aku perlu menjualnya meski hanya satu tangkai, tapi aku masih belum menghasilkan," ujar Haneul dengan sedikit menunduk.

Dokja terdiam memperhatikan Haneul. Apa benar yang dikatakan oleh Haneul? Perempuan bertubuh seperti biola dengan parasnya yang tidak kalah cantik seharusnya sudah bisa menjual banyak bunga. Ada banyak laki-laki yang rela mengeluarkan banyak uang untuk perempuan secantik Haneul. Itulah yang Dokja pikirkan.

"Tapi kalau engga mau pun engga apa sih," ucap Haneul pelan.

"Tapi Kakak mau nerima ini engga? Kakak engga usah bayar," lanjut Haneul sambil menyodorkan setangkai mawar pada Dokja.

"Huh?" Tentu saja Dokja bertanya-tanya kenapa Haneul berbuat seperti ini.

"Apa kau punya masalah? Kau sepertinya terbebani," ujar Dokja menebak apa yang dirasakan oleh Haneul.

Haneul menghela napas kemudian menghembuskannya perlahan. "Sejujurnya aku pernah diikuti oleh laki-laki asing dan itu membuatku sedikit takut."

"Bukannya aku pun laki-laki asing? Usiaku pun bertahun-tahun lebih tua darimu," ujar Dokja tanpa ragu sedikit pun.

"Emm.. Aku hanya merasa kalau kakak punya masalah yang jauh lebih berat dariku."

Perkataan Haneul ini seketika saja membuat Dokja menatap ke arahnya dengan tatapan tidak percaya. Apakah seterlihat itu bagi orang lain?

"Haha." Dokja tertawa. "Terima kasih sudah mau menghiburku."

"Sungguh? Kembali kasih." Haneul tersenyum secerah mentari pagi.

Novel ini hanya terbit di WP dan MT, kalau kalian baca di selain ini bisa dipastikan itu adalah malware webmirror. Silakan dukung penulis di sini http://w.tt/3Ijg6yx terima kasih.

Mawar itu cantik, tapi berduri. Meski begitu, Dokja tetap membeli setangkai mawar yang disodorkan oleh Haneul di halte bus. Bukan karena ingin, tapi Dokja tidak mampu menolak sesosok imut di hadapannya yang perkataannya seolah peduli pada Dokja.

"Terima kasih, Kak." Haneul tersenyum lebar. Dia melambaikan tangannya sembari berlari membawa keranjang bunga yang kini hanya tinggal setengahnya.

"Ya, hati-hati," jawab Dokja sambil membalas lambaiannya. Tangan kirinya penuh dengan lima tangkai mawar. Inginnya Dokja membeli semua mawar itu, tapi sayangnya Dokja harus berhemat. Apalagi setelah dirinya memutuskan keluar dari agency tempatnya berkerja dulu.

Dokja menghela napas lalu mengedarkan pandangannya. Bus yang ditunggunya belum kunjung datang. Dia bisa saja pergi ke stasiun kereta, tapi Dokja terlanjur malas untuk melangkahkan kakinya di bawah terik mentari menuju stasiun.

Sudut mata Dokja menangkap sebuah kilapan yang ganjil. Ya, kilapan yang berasal dari tangan seorang laki-laki berpakaian lusuh yang tidak jauh dari tempat Haneul berada. Terlihat seperti sebuah senjata tajam.

Apa Dokja tidak salah? Dia membuka matanya lebar-lebar. Namun hasilnya tetap sama. Laki-laki lusuh itu terlihat berjalan ke arah Haneul.

Apakah itu orang yang tadi diceritakan oleh Haneul? Pria asing yang mengikuti Haneul. Dokja pikir Haneul hanya bercerita tentang traumanya, tapi ternyata dia sedang meminta pertolongan.

Sial. Seketika saja nalurinya pun membawa kaki Dokja melesat menuju Haneul.

"Perempuan sialan." Laki-laki lusuh itu mulai mengangkat pisaunya tinggi dan siap menyerang Haneul.

"Apa yang mau kau lakukan?!" bentak Dokja sambil meninju pipi sang berandalan hingga tersungkur di aspal bersama pisaunya yang jatuh tidak jauh darinya.

"AAAAAAAAAAAA." Haneul berteriak refleks.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Dokja. Haneul pun mengangguk dengan badan bergetar karena takut.

"Ughh.." Berandalan itu mengaduh. Dia menatap Dokja dan Haneul dengan tatapan penuh amarah.

"Kurang ajar!" Berandalan itu bangkit sambil membawa pisaunya.

"Cepat berlindung," ujar Dokja sambil menarik Haneul ke belakang punggungnya. Meski baru pertama kali bertemu, tapi Dokja tidak ingin Haneul terluka. Dia memang selalu ingin bisa melindungi orang lain meski itu harus mengorbankan dirinya sendiri.

PRANG

Pisau yang dipegang laki-laki itu jatuh karena tangkisan Dokja.

"Kau pikir hanya itu saja senjataku?" Pria lusuh itu melotot sambil mengeluarkan sebilah pisau lain dari saku bajunya.

Sebilah pisau yang dalam hitungan detik sudah bisa membuat baju putih yang dikenakan Dokja dihiasi oleh warna merah.

Pandangan Dokja mengabur. Dia bahkan tidak bisa mendengar suara teriakan Haneul. Rasa perih yang ada di perutnya menjalar ke seluruh tubuhnya hanya dalam waktu singkat.

Kegelapan pun kini menutupi seluruh pandangan Dokja.

BERSAMBUNG


Catatan:
Park Haneul dari webtoon Lookism

The Hottest FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang