❝ 𝘵𝘩𝘪𝘴 𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺 𝘪𝘴 𝘢𝘣𝘰𝘶𝘵 𝘵𝘩𝘦𝘺 𝘧𝘢𝘭𝘭 𝘧𝘰𝘳 𝘦𝘢𝘤𝘩 𝘰𝘵𝘩𝘦𝘳. ❞
Entah sejak kapan genderang perang itu dinyalakan. Mungkin sejak Renee selalu mendapati Alex berusaha menjahilinya dalam tiap temu sapa. Sikap Renee yang keras, am...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Douglas yang baru saja keluar dari Control Room disambut oleh wanita pemilik potongan rambut sepunggung. Langkah mereka saling beriringan menyusuri lorong yang disibuki oleh banyak pegawai. "Astaga, Renee ... kenapa lagi?"
"Aku sangat ingin membahas semua ini denganmu."
Ujaran sungguh–sungguh itu jelas membuat Douglas tak bisa menahan helaan berat. "Coba pertimbangkan kembali tentang keputusanmu. Kau tak melihat respon para pemirsa kita tentang kemunculanmu di liputan peternakan ini? Mereka menyambut baik dirimu."
"Itu seperti bukan aku. Aku tak pernah menganggap sosok yang berdiri satu kali pada liputan Living with Farmies adalah Renee Hartley—diriku sendiri!" Satu minggu hampir berlalu, satu liputan yang ia bawakan telah ditayangkan pada segmen akhir pekan. Rating itu menunjukkan peningkatan yang sedikit lebih baik dari reporter sebelumnya. Tapi, tetap saja belum dapat mengungguli rating liputan yang telah Reece Holly tempati kini.
"Ini pengalaman pertama bagimu. Tidak masalah."
"Jelas itu menjadi masalah bagiku!"
Seruan tertahan Renee membuat beberapa pasang mata memberi perhatian pada keduanya. Menggeleng kecil, Douglas pun mengalah. "Kita bicarakan ini di ruanganku."
Sementara di lantai dasar, dua pria lain tengah larut dalam konversasi santai. Sama–sama berdiri di depan pintu lift, Calvin melanjutkan percakapan. "Ck, bukankah perempuan memang serumit itu? Saat kita menyatakan perasaan melalui ucapan, mereka meminta bukti–bukti lain secara nyata. Tapi, jika kita menyatakannya lewat perbuatan, mereka pasti mengira bahwa kita melakukannya pada seluruh wanita."
Alex memilih tak menyahut. Kala dentingan mulai terdengar, keduanya membaur masuk bersama beberapa pegawai lain pada peti angkut tersebut.
"Ya, mereka memang banyak maunya. Menangisi pria yang memberi mereka sakit hati lebih banyak, tapi menyia–nyiakan pria yang selalu membuat mereka tertawa." Sejak tadi memang Calvin yang mendominasi percakapan. Sedangkan Alex? Entahlah, mungkin angannya terbang entah ke mana. Sekaligus berusaha menyembunyikan cekungan yang sedari tadi tertahan di bibir.
"Perempuan seperti kode, dan pria adalah Sherlock Holmes. Hanya Sherlock Holmes terpilih yang bisa memecahkan 'kode' itu," tutur Alex. "Semakin sulit 'kode'nya, semakin jenius lah Sherlock Holmes itu."
"Itu hanya berlaku pada zaman Ayah–Ibu kita, Alex. Tapi, sekarang? Masa telah berubah. Kepastian menjadi modal utama. Perempuan bukanlah 'kode' mutlak yang harus dijadikan poros kehidupan. Masih banyak tuntutan seperti karir dan lain–lain yang harus dilakukan untuk mencapai kualitas hidup kita."