PART 5

610 99 0
                                    

"Ra, gak usah masak gue mau beli bubur. Lo udah mandi tar keringetan lagi. Gue beli dulu, bentaran, kok."

Ara yang baru keluar kamar dan hendak masuk dapur, menghentikan langkahnya.

Tanpa sempat menyahut, Eza sudah keluar dengan kunci motornya. Jadi, Ara memutar langkah, melangkah ke meja makan, lalu duduk di sana, menunggu Eza pulang dari beli bubur.

Sudah dua minggu lebih ditinggal Dido.

Bayangannya masih ada, masih bisa Ara lihat, jam segini biasanya abang pertamanya itu lagi masak buat sarapan Ara. Dido selalu menyempatkan membuat sarapan, setiap hari, kecuali kalo lagi kesiangan, sama kayak Eza tadi, Dido juga pasti beli bubur kalau kesiangan.

Suara deru mesin motor terdengar, disusul decitan pintu terbuka dan tertutup.

Abang penjual bubur ada di depan gang, tak jauh, jadi Eza cepat.

"Nih, punya lo plus sambelnya. Lo, kan, gak bisa banget makan bubur tanpa sambel."

Eza yang selalu terlihat cuek, ternyata diam-diam sedikit memperhatikannya, padahal Eza jarang ikut sarapan bersama Ara dan Dido, tapi Eza tahu Ara tak bisa makan bubur tanpa sambal.

"Makasih, Bang," ucap Ara, tersenyum lebar sembari membuka kotak sterofoam di hadapannya.

Eza duduk di sebrangnya. Beranjak sebentar untuk mengambilkan air minum untuknya dan untuk Ara.

Membuat Ara tersenyum semakin lebar dan mengucapkan terimakasih untuk kedua kalinya.

"Oh, ya. Nih, jajan lo."

Eza memberikan selembar uang lima puluh ribu.

"Kurangin deh, Bang. Kita, kan, harus hemat," ucap Ara, tak langsung mengambil uang yang disodorkan abangnya karena Ara sadar sekarang hanya ada Eza yang menghidupinya dengan kerjaan yang tidak seperti dulu, malah sekarang lagi nganggur.

Eza menghela napas. "Duit tabungan masih banyak, Ra, tenang aja. Tabungan gue sama tabungan Dido kalo digabung bisa cukup kok buat lo sekolah sampe lulus terus kuliah. Lagian, Dido suka kasih jajan lo segitu, kan? Marah dia kalo tahu gue kurangin. Tar adek kesayangannya jadi kurus kering kurang jajan, gimana coba? Gue juga yang disalahin."

"Ish."

Ara memajukan bibir sekilas, tapi kemudian kedua ujung bibirnya itu melengkung ke atas.

"Makasih, Bang," katanya.

Ara berucap terimakasih untuk yang ketiga kalinya dengan senyuman lebar.

"Mm, abisin buburnya."

Eza menunjuk bubur di hadapan Ara dengan dagunya. Eza juga mulai makan.

-

"NGOMONG-NGOMONG, TEMPAT ABANG LAMAR KERJA ITU DI MANA?"

Ara berteriak karena ini di jalanan. Yang Ara tahu dari beberapa hari ini berangkat-pulang ke sekolah bareng Eza: kalo ngomong sama Eza di motor itu harus pake volume full, kalo tidak begitu, abangnya akan terus menyahut 'HAH, HAH?'... Bikin jengkel.

"DEKET, KOK."

Eza balas berteriak kencang, padahal Ara tak sebudeg dirinya kalau di atas motor.

Ara tak melanjutkan obrolan, cukup segitu dulu, kalo banyak-banyak nanti dia yang kehabisan suara.

-

Setelah sampai di depan gerbang sekolah. Ara menyodorkan tangan.

"Udah, kan, tadi di rumah," kata Eza, mengernyitkan kening.

"Bukan uang jajan."

Ara menarik tangan Eza, menyentuhkan punggung tangan Eza ke jidatnya dengan paksa.

"Assalamu'alaikum," pamitnya.

"Wa'alaikumsallam," sahut Eza.

Eza masih bengong melihat Ara yang sudah melangkah masuk melewati gerbang sekolah, lalu dia pandang tangannya, kemudian Eza tersenyum.

Sepertinya Ara sudah mulai sepenuhnya menerima dia jadi pengganti Dido. Tak pernah terpikir sebelumnya, Eza akan jadi seorang kakak yang seutuhnya. Dulu-dulu yang Eza pikirkan selalu lebih banyak tentang kesenangannya, jarang sekali terpikirkan Ara.

Eza menutup kaca helm. Kembali menyalakan motor dan melaju dengan tekad. Hari ini dia harus mendapatkan pekerjaan.

--

--

LIAR (On Going)  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang