PART 6

617 97 9
                                    

Hari ini Eza bertemu dengan seseorang yang akan mewawancarainya--wawancara kerja.

Yang akan mewawancarainya adalah seorang pria yang sepertinya berusia beberapa tahun di atas Eza, memakai jas rapi dan... tampan. Nggak, Eza gak belok kok. Dia hanya berkata sesuai apa yang dia lihat, pria itu memang terlihat tampan dan berwibawa.

Eza memakai kemeja lengan panjang, menutupi tattonya. Dan tatto di lehernya, dia tutup dengan plester lebar yang dipasang beberapa biji agar bisa menutupi tattonya.

Tapi saat si pewawancara bertanya perihal ada apa dengan lehernya, Eza menjawab dengan jujur: ada tatto yang dia tutupi.

Biarlah. Kalo rezeki, ya, tattonya tak akan jadi penghalang. Kalopun tidak diterima karena itu, ya, berarti bukan rezekinya.

Beberapa menit ditanya-tanya, Eza hanya pasrah. Dia hanya lulusan SMK jurusan Teknik Komputer. Tidak banyak yang dia tahu tentang dunia perkantoran. Hanya urusan otak-atik komputer dan motor, yang dia paham.

Dan akhirnya selesai.

Pria itu tersenyum padanya, mengucap terimakasih.

Dengan senyum kikuk, Eza berterimakasih balik. Harusnya, kan, dia yang berterimakasih. Eza jadi bingung.

Kemudian Eza pulang, tepat sekali 15 menit lagi Ara pulang sekolah.

Sebelum ke sekolahnya, Eza mampir ke Minimarket dulu, membeli coklat dan beberapa cemilan kesukaan Ara. Mau beliin eskrim, takutnya leleh. Yaudahlah, nanti saja mampir Minimarket lagi.

Eza menampilkan senyum lebar begitu melihat Ara keluar dari gerbang.

"Jangan disenyumin tar mereka klepek-klepek," kata Ara.

Eza juga memberikan senyuman pada teman-temannya yang mengucapkan dadah pada Ara, hari ini teman-temannya itu melambaikan tangan dengan terlihat centil.

Mereka cari perhatian sama abangnya.

"Dulu ke Bang Dido, sekarang ke Bang Eza."

Ara menghela napas, kemudian menaiki motor.

Eza hanya tertawa. Paham dengan tingkah anak baru gede.

"Nih, coklat."

Senyum Ara merekah menerima coklat dengan merk kesukaannya.

"Makasih," ucapnya.

Inilah yang membuat Ara betah menjomblo, padahal teman-temannya rata-rata sudah punya kekasih. Ara sudah punya sosok lelaki yang menyayanginya dengan tulus tanpa akan menyakiti.

Mm, tapi... Dido menyakitinya.

Tapi tak apa, masih ada Eza sebagai penggantinya.

-

"Gimana wawancaranya, Bang?" tanya Ara begitu sudah sampai di rumah.

Mau tanya di atas motor tadi, tapi Ara lagi capek banget buat teriak.

Eza tersenyum lebar. "Lancar, Ra. Do'ain, ya, dapet kabar bagus," sahut Eza.

Ara mengangguk, ikut tersenyum. Menunggu Eza yang sedang membuka kunci rumah kemudian mereka masuk ke dalam rumah.

"Emangnya Abang lamar kerja di mana?"

"Lawfirm," sahut Eza.

Ara menaikkan alis. "Lawfirm itu firma hukum, kan, Bang? Tempat pengacara-pengacara gitu?"

Eza mengangguk.

Ara mengernyit. "Terus Abang masuk bagian apa? Emang bisa Abang ngelamar kerja di sana? Biasanya, kan, tempat begitu pendidikan akhirnya harus minimal S1. Ya, Kecuali kalo Abang jadi cleaning service atau jadi satpamnya."

Eza diam, dia jadi terpikir. Tidak tahu juga sebenarnya, posisinya akan jadi sebagai apa. Saat melamar, Eza cuma baca syarat-syaratnya terus langsung kirim lamaran. Lagian, tadi diwawancara juga pertanyaannya cuma menegaskan ke arah: Eza sungguh-sungguh mau kerja atau tidak.

"Gak tahu sih, Ra, biarin lah yang penting kerja."

Eza tak mau ambil pusing. Seperti yang dia katakan: diterima syukur, tidak diterima, ya, gak pa-pa, bukan rezekinya.

"Ganti baju sana, gue mau masak spaghetti carbonara. Udah ngerti banget sekarang cara masaknya, pasti rasanya bakal lebih enak dari kemaren."

Begitu mendengar makanan kesukaannya, Ara langsung tersenyum lebar. Kebetulan lagi kangen banget sama makanan itu.

"Siap, Bos," seru Ara, kemudian dia melangkah dengan semangat ke kamarnya.

--

--

LIAR (On Going)  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang