Setelah meminum obat-obatan yang dari dokter dengan teratur, kondisi Eza berangsur membaik, dan dia mulai masuk kerja.
Tapi sepertinya imun tubuhnya itu belum sepenuhnya kembali seperti semula. Eza merasakan kelelahan setiap hari, padahal aktivitasnya tidak pernah berat, paling berat juga angkat dua cup kopi; punya dia dan Pak Wira. Entah mungkin ini dipengaruhi juga dengan faktor umur yang bertambah; Eza semakin tua dan di masa muda dia tidak menjaga kebugaran tubuhnya, jadinya, ya, begini.
Tiba di hari ulang tahun Ara. Seperti yang adiknya itu inginkan; Eza akan membawanya jalan-jalan dengan mengendarai motor. Sudah lama juga dia tidak berkendara bersama Ara.
Eza bangun di pagi ini dengan badannya yang teras pegal-pegal dan ada sensasi hawa hangat.
Dia meraba sisi kanan lehernya. Sejak kemarin ada benjolan kecil di sana, kata orang kelenjar di leher memang akan tumbuh saat tubuh kita sedang kelelahan, ya, sekarang Eza memang sedang kelelahan dan mungkin demamnya juga berasal dari sana.
Eza bangun, bergegas keluar kamar untuk mandi.
Sudah ada Ara di dapur, sedang membuat sarapan.
"Harum gak, Bang?" tanya Ara pada Eza yang memasuki area dapur dengan langkah sempoyongan dan mata yang masih setengah tertutup.
Eza mengangguk-angguk. "Masak apa?" tanyanya sembari menilik wajan yang mengepulkan asap dengan matanya yang memicing. Masakan Ara memang berbau harum, tapi sepertinya tidak membuat nafsu makan Eza muncul, bukan karena masakannya terlihat tidak enak, hanya saja sejak kemarin nafsu makannya memang sedang hilang.
Eza lalu melangkah menuju kamar mandi.
"Jangan kelamaan mandinya," seru Ara.
"He'em," sahut Eza sembari menutup pintu kamar mandi.
-
Ara duduk menunggu di kursi teras, sedangkan Eza sedang memanaskan mesin motornya yang ada di halaman. Lalu dia melangkah ke arah teras, mengambil converse-nya di rak sepatu dekat pintu kemudian duduk di kursi untuk memakai sepatunya itu.
"Kali ini ke makamnya beli bunga dulu, ya, Bang? Satu aja," ucap Ara.
"Tiga juga gak apa-apa."
Eza bangkit lalu tersenyum pada Ara sampai mata kecilnya menghilang.
"Santai, Ra, duit kita banyak," sombongnya kemudian.
Ara mendecih pelan diakhiri senyuman samar.
"Ayok," ajak Eza lalu meraih jaketnya yang tersampir di kursi, sembari berjalan dia memakainya.
-
Di depan tiga makam itu, Eza dan Ara duduk bersampingan. Mereka berdua baru saja selesai memanjatkan do'a.
Ara tersenyum melihat tiga buket bunga cantik yang dia sandarkan pada tiga pusara makam di hadapannya itu.
"Ara sekarang ulang tahun, Bang Eza mau ngajak jalan-jalan."
Eza melirik Ara. Gadis itu tampak melipat bibir, sepertinya sedang menahan tangis.
"Ara seneng banget."
Eza langsung memalingkan wajah saat melihat bibir yang dipaksakan tersenyum itu, nyatanya dibarengi dengan setetes air mata yang meluncur.
"Ara sama Bang Eza pergi dulu, ya, Yah, Bu, Bang Dido, nanti kita ke sini lagi."
Ara melirik Eza setelah mengusap air matanya. Lalu mereka berdua berdiri dan pamit.
-
Motor yang dikendarai Eza kembali melaju, meninggalkan kawasan pemakaman. Katanya Ara mau jajan ke tempat jajanan pedagang kaki lima.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR (On Going)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** .. Terkadang pengingkar tidak berniat mengikari tapi apa daya saat tuhan sudah menghendaki ..