PART 9

777 110 20
                                    

Walaupun tanpa Dido, kehidupan tetap berjalan; mau tak mau. Dan tak terasa, satu tahun lebih sudah terlewati.

Ara baru saja lulus SMA dan masuk salah satu perguruan tinggi yang paling banyak diminati. Karena kepintarannya,
Ara berhasil masuk menjadi salah satu mahasiswi di sana.

Eza merasa bangga. Selain pada Ara, dia juga bangga pada dirinya sendiri. Eza masih tidak menyangka pada akhirnya dia akan menjadi kakak yang baik menggantikan peran Dido.

Melihat Ara yang berfoto dengan jas kuningnya, Eza meneteskan air mata.

Do, liat Ara udah jadi cewek dewasa. Dia cantik, Do. Dia pinter. Gue harus jaga dia ekstra, jaga raganya sama jaga hatinya. Gak akan gue kasih kesembarang orang, Do, tenang aja.

"Kenapa Abang senyum-senyum gitu? Lagi sendirian lagi, serem tahu."

Senyuman tipis Eza langsung luntur.

"Makan dulu, Ara udah bikinin bubur."

Ara duduk di tepi ranjang dengan mangkuk di tangan.

Eza sakit dari kemarin, dia demam dan diare.

"Tadi Kak Pio sama Kak Dera jagain Abang, kan?"

Eza mengangguk. "Aman, Ra. Lagian, cuma demam doang gue, masih bisa sendiri kalopun gak ada yang nemenin juga."

Ara meniup pelan bubur yang masih agak panas itu, lalu menyuapkannya pada Eza.

"Sok-sokan sih kemaren ikut ke Surabaya, orang udah ngerasa gak enak badan juga."

Tak henti-henti Ara mengomel perihal itu.

"Ya, kan, kerjaan, Ra. Namanya assisten, bos pergi, ya, gue juga ikut pergi."

Dengan wajah masih kesal, Ara terus meniup bubur dan menyuapi Eza.

"Tadi dianter ke dokter gak sama Kak Pio, Kak Dera?"

Eza menelan buburnya, mengangguk.

"Ke dokter, kok. Tuh, obatnya," sahutnya.

Ara melirik kantong obat dengan lambang klinik yang berada tak jauh dari rumahnya.

"Udah dimakan obatnya tadi?" tanya Ara.

Eza mengangguk kembali. "Udah."

Ara mengecek dahi Eza.

"Tapi kok masih panas?!" kata Ara dengan nada suara yang ngegas, seakan mencurigai kalau Eza baru saja berbohong tentang meminum obatnya.

Eza mengedikan bahu. "Gak tau lah, Ra. Orang baru sekali diminum juga. Ya, sabar, nanti juga turun. Kok, lu ngegas."

Ara menghela napas. "Ara, tuh, cuma mau Bang Eza cepet sembuh," ucapnya dengan bibir yang jadi cemberut.

Eza menegakkan duduk. Memajukan kepala untuk menilik wajah adiknya.

Merasa ditatap intens, Ara mengerutkan kening.

"Kenapa sih, Bang? Serem tahu," ucap Ara, dia sampai refleks memundurkan kepala.

"Ada yang gangguin lo, ya? Siapa? Mainin hati lo? Siapa? Berani-beraninya!"

"Apaan sih, Abang, sok tahu banget."

Ara menyimpan mangkuk di atas nakas lalu mengambil segelas air dan menyodorkannya pada Eza.

Kayak lagi salting. Eza gak minta minum, tuh.

"Terakhir kali lo ngegas gak jelas kayak gitu, seinget gue gara-gara Mas crush lo yang ternyata udah punya pacar, iya, kan? Waktu itu lo baru cerita setelah marah-marah gak jelas. Gue kirain lagi PMS, eh, ternyata patah hati, syalan tuh orang, sampe sekarang gue masih gedeg, berani-beraninya patahin hati adek gue."

LIAR (On Going)  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang