PART 1

1.5K 149 4
                                    

"Dah, Araa... "

"Daahh... "

Gadis berseragam putih abu itu melambaikan tangan dengan senyuman lebar kemudian menyebrangi jalan. Dia menengok kanan kiri mencari seseorang yang katanya menunggu di sebrang gerbang sekolah.

Bibirnya mendecak saat tak juga menemukan sosok itu. Sebrang sekolah mana, sih?! Jangan bilang salah sekolah.

Gadis SMA bernama Kiara atau yang lebih akrab disapa Ara itu menyalakan handphone. Menekan ikon panggil pada kontak sang kakak.

"Bang Eza di mana?" tanyanya langsung dengan nada sedikit gondok. Dia pikir abangnya akan menunggu dengan manis di depan gerbang sekolah, seperti yang tadi dia janjikan.

"Lo udah keluar?"

"Udah, ini di depan gerbang, Bang Eza di mana, sih?!"

"Oke oke, gue otw."

Telepon dimatikan oleh Eza.

Bibir Ara langsung manyun. Emang gak pernah bener kalau abang satunya itu yang jemput.

Sekitar 10 menit dia menunggu, sebuah motor matic berwarna hitam berhenti di sebrang sana--depan gerbang sekolah, Eza yang mengendarai dengan helm hitam full face-nya, ya walaupun wajahnya tertutup kaca helm yang gelap itu, tapi Ara hapal bentukannya.

Eza celingukan kanan kiri sebelum melajukan motor ke sebrang jalan--tempat Ara menunggu dengan wajahnya yang ditekuk.

"Hehe."

Cengiran lebar tampak begitu kaca helm dinaikkan.

"Ke mana dulu, sih?! Katanya nunggu di depan gerbang," kata Ara kesal.

"Ya, lo lama, Ra, jadi gue neduh dulu sambil nyebat."

Masih dengan cengirannya, Eza mencoba meluluhkan wajah Ara yang tengah ditekuk sempurna itu. Jika Dido masih ada dan dia melihat wajah si bungsu yang jadi seperti itu karena kelakuan Eza, maka habislah Eza diomeli.

Eh... Ara baru ngeuh Eza pake motor matic.

"Ini motor siapa?!" tanya Ara dengan nada masih sedikit ketus.

"Motor gue, dong. Bagus, gak?"

Eza dengan tangan memegang stang, mendongakan kepala; sombong.

Mmm... kening Ara mengkerut. "Motor Abang yang kemaren ke mana?"

"Gue jual terus beliin motor ini. Bekas tapi masih bagus. Kan, mayan duit sisanya bisa buat sehari-hari," sahut Eza dengan senyuman lebar membuat mata minimalisnya jadi hilang.

"Tapi, kan, yang kemaren bukannya motor kesayangan Bang Eza?"

Ya, motor ninja 4 tak yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa, setiap hari dilap supaya berkilau, bahkan Eza lebih sayang motornya daripada Ara.

"Lo bilang gue gak boleh balapan lagi."

Ara menggigit kulit bagian dalam bibirnya. "Tapi, kan, Ara gak suruh Abang jual motornya. Itu, kan, motor kesayangan Bang Eza." Wajah Ara jadi menyendu, merasa bersalah.

"Jangan manyun kayak gitu, nanti gue yang dimarahin Dido. Udah, ah, buruan naek. Mending pake matic, enak, enteng," ucap Eza.

Masih dengan wajahnya yang menunjukkan perasaan bersalah, Ara mengangkat kakinya, menaiki motor matic itu, lalu memegang ujung kaos merah Eza. Jujur, selama ini Ara tak merasa begitu dekat dengan Eza. Dia selalu dengan Dido; yang menjemput sekolah biasanya Dido, yang antar biasanya Dido, yang membantunya ini itu Dido, yang selalu di rumah menemaninya juga Dido. Kalau sama Eza hanya sesekali, itu pun jika terpaksa kalau Dido sedang tidak ada.

-

"Maklum, Ra, motor bekas."

Eza berucap sembari menyodorkan susu kotak dingin kepada Ara.

Mereka berdua belum sampai rumah. Tiba tiba ban motor bocor, untung saja ada tempat tambal ban yang tak jauh dari lokasi.

Eza duduk di samping Ara dengan kopi kaleng di tangannya. Dia lalu menyalakan sebatang rokok. Ara melirik tak suka. Salah satu perbedaan mencolok kakak pertama dan keduanya: Dido tidak merokok, tapi Eza itu jagonya rokok.

Tapi kemudian Eza melangkah menjauh. Duduk berjongkok dekat abang-abang yang sedang menambal ban. Ya, bagusnya Eza selalu mengerti kalau Ara benci asap rokok.

Eza tampak mengobrol dengan abang tambal ban itu sembari sesekali terkekeh.

Ujung bibir Ara terangkat sedikit.

Banyak teman sekolahnya yang lebih menyukai Eza dibanding Dido. Katanya, Eza itu berkharisma, wajah Eza itu lucu: matanya kecil, bibirnya kecil, dan hidungnya juga kecil dan runcing. Jika tersenyum, mata kecil Eza akan menghilang, tambah bikin klepek-klepek kalau kata teman Ara, apalagi dengan tangannya yang berhias tato dengan warna yang terlihat cocok dengan kulit putih pucatnya.

"Abang lo yang kedua itu badboy look abis, tapi manis banget, Raaaa!!!"

Itu kata teman dekatnya dengan heboh, membuat Ara hanya bisa menatapnya aneh.

"Makasih, Bang. Ayok, Ra."

Ara tersadar dari lamunannya. Dia segera beranjak dengan tangan memegang erat susu kotak yang tadi diberikan Eza. Bibirnya tersenyum.

"Cie, udah gak ngambek lagi," goda Eza.

Tercyduk. Ara langsung menurunkan kedua ujung bibirnya kembali, sedikit dimajukan.

"Gue bikinin spaghetti carbonara biar lo gak cemberut lagi."

"Emang bisa?"

"YAK... nggak bisa, sih, hehe. Tapi, kan, bisa liat YouTube, Ra."

Eza memakai helmnya.

Ara naik ke atas motor. Sepanjang jalan, dia menatap ke langit biru yang dihiasi gumpalan awan putih cerah.

'Bang Ido lagi ngapain di sana?'

'Bang Eza gak bisa bikin spaghetti carbonara.'

'Bang Eza sekarang pake matic, motor kesayangannya dijual.'

'Bang Ido pasti udah liat, ya, dari sana?'

'Ara kangen Bang Ido.'

'Baru satu hari, tapi kangennya udah kayak ditinggal 1000 hari.'

"Bang Ido jangan khawatir, Ara aman sama Bang Eza. :)'



--------------tbc--------------->>>>>>>>>>>>>>>>

Pemanasan:)


Mmmm.
Satu..
Jangan berekspektasi lebih pada ceritaku yah :)
Aku amatir, gak tahu bahasa yang baik,alur yang baik atau tata cara kepenulisan yang baik dan benar, ceritaku full ngaur, jalan cerita kadang gak jelas,semrawut, nulis tergantung mood.
Aku gak nimbun cerita didraft, part ini selese disini,part selanjutnya aku belum ada,
Kalo orang nulis cerita tuh udah ada target klimaks sama penyelesaiannya tar gimana.
kalo aku gak,jalan aja hehe makanya kalo mandeug lanjutan cerita pasti makin gak jelas atau publish jadi setaon sekali ya Ancor sekali gitulah,
Makasih ya.
Kucoba lanjut yang ini,
😊.

"LIAR"


LIAR (On Going)  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang