PART 3

969 128 12
                                    

"Ah, nyerah gue."

Dera yang masih berdiri di ambang pintu--baru saja membukakan pintu, menutup pintunya kembali, melangkah menghampiri sang kawan yang baru saja masuk ke dalam apartementnya.

Eza menghempaskan tubuh ke ranjangnya begitu saja dan kini dia dalam posisi tengkurap, mengeluarkan kata keluhan dan terlihat putus asa.

"Baru seminggu," cetus Dera enteng. Bukan bermaksud menyepelekan, hanya agar Eza kembali tertantang.

Tapi Eza langsung berbalik, memandangnya dengan tatapan tajam.

"Baru lo bilang?! Seminggu gue luntang-lantung gak jelas, gak da hasil. Belom pernah aja lo nyobain. Baru... enteng gila lo ngomong. Capek gue."

Dera menghela napas panjang, duduk di sofanya dengan santai. Tak pernah terpicu oleh nada ngomong Eza saat dia lagi sewot kayak begitu.

"Orang-orang ada yang berbulan-bulan, malah bertahun-tahun sampe akhirnya baru dapet. Lo baru seminggu, Za, masa mo nyerah," kata Dera dengan tenang.

Eza terdiam. Ya, iya juga sih.

"Akh!" erangnya kemudian, lalu kembali menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal. Tas hitam masih setia berada di punggungnya. Untuk beberapa menit, Eza hanya ingin seperti ini.

Dera juga diam, membiarkan.

Lalu handphone Eza berbunyi. Tanpa merubah posisi, dia mengambil handphonenya dalam saku celana. Menggeser ikon hijau dan menempelkan benda itu ke telinga.

"Iya, ini mau jalan. Kalo gue telat tungguin di halte, jangan ke mana-mana."

Eza mematikan telepon kemudian langsung bangun, turun dari ranjang Dera.

"Gue balik, dah. Ara bentar lagi balik."

Eza melangkah lalu duduk dekat pintu, memakai sepatu converse-nya.

"Udah makan, Za?" tanya Dera.

"Tar sama Ara," Eza menyahut tanpa menoleh. Setelah selesai memakai sepatunya, dia bangkit.

"Balik dulu, ya," pamitnya sembari membuka pintu, dia melangkah keluar lalu menutup pintunya kembali. Terdengar suara Dera yang entah mengucapkan apa. Hati-hati sepertinya.

--

Eza tak mengeluarkan suara. Hanya tersenyum tipis saat Ara menghampirinya kemudian melajukan motor dalam diam. Sampai rumah pun tak mengeluarkan suara.

"Hari ini order makan aja, Ra. Serah dah lo pesen apa. Gue tidur dulu bentar."

"Bang Eza, gak pa-pa, kan?" tanya Ara, sejak tadi merasa ada yang aneh dengan abangnya.

Eza menyimpan sepatunya ke rak. "Gak pa-pa, ngantuk doang. Pesen makanan yang enak, ya," katanya sembari memaksakan senyuman lebar.

"Nih, duitnya." Eza meletakkan selembar uang seratus ribu di atas meja. "Gue tidur dulu, Ra. Jangan nunggu gue bangun kalo mau makan, makan aja duluan."

Eza masuk ke dalam kamar lalu menutup pintunya.

Ara mematung, melirik uang yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Dengan helaan napas panjang dia mengambilnya kemudian masuk ke dalam kamarnya.

--

Ara makan sendiri. Eza belum juga keluar dari kamarnya, padahal sekarang sudah jam lima sore. Sudah dua jam Eza tidur.

Sepi. Coba ada Dido.

Setiap suapannya ditemani adegan drama dari handphone yang dia sandarkan pada mug. Ara tidak boleh sedih. Bagaimanapun Ara, kan, sudah ikhlas.

LIAR (On Going)  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang