Sudah empat hari Eza tidak masuk kerja. Tubuhnya belum benar-benar sehat; masih begitu lemas, apalagi kemarin sempat diare parah. Tapi syukurnya, sekarang sudah mendingan.
Selama Eza sakit, Ara tetap berangkat ke kampus, seperti biasa. Hanya sekarang jika ada kerja kelompok dia tidak akan ikutan, Ara akan mengambil bagiannya untuk dikerjakan di rumah. Pokoknya, dia usahakan pulang se-siang mungkin.
Dan lega sekali rasanya saat hari minggu tiba, jadi Ara bisa di rumah seharian, merawat abangnya yang belum juga sembuh itu.
Ara sebenarnya khawatir karena Eza tidak sembuh-sembuh, tapi abangnya itu bilang:
"Tipes emang sembuhnya lama, Ra."
Melihat abangnya yang hari ini mulai bisa bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar, itu cukup untuk membuat kekhawatiran Ara sedikit berkurang.
Ara meletakkan segelas air di atas meja depan sofa yang sedang diduduki Eza.
"Apa, tuh? Aer cacing lagi? Gak mau, ah, gue, Ra. Jijik." Eza bergidik. Kemarin Ara mencekokinya dengan air cacing yang katanya bagus buat penyakit tipes, tapi, kan, jijik banget. Eza tak bisa menghilangkan bayangan segerombolan cacing-cacing yang meronta-ronta saat direbus, bayangan itu membuat Eza langsung muntah ditegukan pertama.
"Bukan, itu aer kelapa. Harus banyak minum, Bang, biar gak sariawan," kata Ara.
Selain lemah, letih, lesu, meriang, dan demam. Sekarang mulut Eza juga lagi penuh sama sariawan. Seperti tak habis-habis penyakitnya. Yang ini belum sembuh bener, yang ono udah datang saja.
Dengan diiringi ringisan, Eza mulai meneguk air kelapa itu. Mulutnya terasa perih sekali.
"Dapet dari mana, Ra, aer kelapa?" tanya Eza setelah berhasil menelan beberapa tegukan.
"Abang yang jual es kelapa depan gang," sahut Ara.
"ASSALAMU'ALAIKUMMMM."
Ada yang berteriak di luar.
Ara melirik Eza.
"Pak RT kali," kata Eza.
"Masa?" Ara mengerutkan kening lalu beranjak untuk melihat. Tidak seperti suara Pak RT, ah.
"ASSALAMU'ALAIKUUMMM."
Atau orang yang minta sumbangan?
Ara memutar kunci sembari menebak-nebak. Soalnya ke rumah mereka tidak pernah ada tamu. Paling teman-teman dekat Eza, itu pun kalau mereka yang datang tidak pernah pake salam.
"ASSALAMU'ALAIKUUUUUMMMM!!!"
Masa orang minta sumbangan ngucap salamnya rusuh gitu.
Begitu membuka pintu dan menyipitkan mata memandang ke arah pagar.
OH... buru-buru Ara melangkahkan kaki untuk membuka pagar rumah setelah melihat jelas siapa yang berdiri di depan pagar rumahnya yang setinggi dada itu.
Ara ingat betul wajahnya. Itu bos abangnya.
Dan... adiknya. Yang meneriakkan salam pasti dia.
Sekarang lelaki yang sempat Ara curhatkan dengan abangnya itu, sedang menatap Ara dengan senyuman sangat lebar.
"Makasih, Ara," ucapnya dengan nada manis saat Ara sudah membukakan pagar.
Ara tersenyum sekilas padanya lalu beralih pada bos abangnya, yang membalas senyuman Ara dengan sangat ramah.
"Eza udah mendingan, Ra?" tanyanya dengan suara yang terdengar sopan sekali masuk ke telinga.
"Udah, kok, Pak. Ayok, masuk, Pak."
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR (On Going)
Roman pour Adolescents**Jangan plagiat nyerempet copy paste** .. Terkadang pengingkar tidak berniat mengikari tapi apa daya saat tuhan sudah menghendaki ..