PART 15

667 105 8
                                    

Sudah dua hari Eza terserang batuk, tipe batuk kering yang tidak henti-henti dan mengganggu. Dia belum masuk kerja, lagi pula Pak Wira katanya sedang berada di luar kota.

"Kok, jadi batuk, sih, Za?" tanya Dera.

Dua temannya sedang berada di rumahnya. Mereka bertiga berkumpul di ruang TV.

"Apa gue gak cocok sama obat yang baru, ya, Der? Kadang jadi gak enak banget dada gue, terus kadang detak jantung gue jadi kek cepet gitu, terus gue jadi kena batuk gini, terus juga semalem gue keringetan, keringetan yang gak wajar, banyak banget, bikin baju gue basah, basah yang bener-bener basah."

Pio dan Dera mengernyit menatap Eza yang sedang menuturkan tentang keluhannya. Sekarang pun temannya itu terus terbatuk, menyelesaikan omongan saja sambil terus mengernyit; berusaha menahan batuknya.

"Udah ke dokter belom lo?" tanya Dera.

Eza menggeleng. "Gue udah beli obat di apotek. Tar kalo sampe besok masih kek gini, baru gue mau ke dokter."

"Nggak. Sekarang deh, Za. Ayok lah," ajak Pio, dia memandang Eza dengan serius.

Dera melirik Pio, dan jadi mengangguk-anggukkan kepalanya sembari mengalihkan pandang pada Eza. Setuju juga dengan ajakan Pio; lebih cepat, lebih baik.

"Ayok lah, cepet lo ganti baju," titah Dera.

Eza melirik kedua temannya yang sama-sama memandangnya dengan sorot mata serius.

Lalu Eza akhirnya mengangguk. "Oke, gue ganti baju dulu," katanya.

Yang mendorong keras Eza untuk bersedia pergi ke rumah sakit, bukan tatapan Pio atau Dera, tapi Ara, bayangan adiknya itu yang beberapa hari ini selalu dia buat khawatir.

Mereka bertiga pergi menggunakan motor. Eza tidak membawa motornya; dia ikut dengan Dera.

Berjalan dari parkiran, masuk ke dalam rumah sakit, melakukan pendaftaran, lalu lanjut melangkah menuju ruang tunggu dokter umum; perjalanan singkat itu membuat Eza merasakan lelah, sangat lelah. Dia menyandarkan punggungnya, menurunkan maskernya lalu bernapas dengan embusan keras.

"Gara-gara lama diem di rumah, jalan segitu aja jadi capek banget gue," keluhnya.

Dera dan Pio melirik.

"Olahraga dikit makanya, Za," kata Dera. "Beliin minum sana lo, Pi," titahnya kemudian pada Pio.

Pio seperti akan protes, tapi setelah melihat penampakan Eza yang seolah telah berlari mengelilingi satu gedung rumah sakit, akhirnya Pio pun bangkit.

Setelah Pio yang duduk di samping kirinya pergi, Eza melirik bahu lebar Dera yang duduk di samping kanannya kemudian dia sedikit bergeser dan menumpukan kepala pada bahu itu tanpa permisi.

"Gue kalo lo lagi sehat, gak akan mau, Za, minjemin bahu gini," kata Dera.

Eza terkekeh. "Gue juga ogah, senderan gini ke elo kalo lagi sehat. Tapi, Der, kadang kalo lagi sama lo gini, gue jadi berasa lagi sama Ido."

Dera terdiam, mengingat abang Eza itu. Dia juga mengenal Dido dan berteman dengannya walaupun tidak seakrab dengan Eza. Dera dan Dido hanya sebatas teman di area balapan.

"Orang baik emang selalu dipanggil duluan, ya, Za," ucap Dera. Walaupun tidak begitu akrab dengan Dido, tapi kebaikkan abang Eza itu, sangat Dera rasakan.

Eza tersenyum.

"Tapi itu salah gue, Der. Gue yang pertama kali bawa Ido balapan. Kalo gak gue kenalin ke dunia balapan, mungkin Ido masih ada."

"Itu udah jadi takdirnya, Za," ucap Dera.

"Der, kalo yang baik mati duluan. Berarti orang kayak gue harusnya mati terakhir, ya?" Eza bertanya.

LIAR (On Going)  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang