Merasa sudah sehat, Eza hari ini akan masuk kerja. Terhitung sudah satu minggu dia di rumah, belum dihitung dengan yang sebelumnya. Beruntung bosnya macam Bapak Wiratanika Prada: jelmaan malaikat.
"Abang jangan makan yang macem-macem dulu."
"Paling juga makan pecel depan kantor."
"Gak boleh. Besok-besok Ara bikinin bekel, deh."
Eza terkekeh, melirik Ara yang sedang sarapan bersamanya.
"Gak usah sampe segitunya kali, Ra. Janji, kok, gue gak akan makan yang macem-macem."
Ara cemberut. "Awas aja bohong, nanti sakit lagi."
"Gak akan, Ra. Ngomong-ngomong, Ra, hubungan lo sama adiknya si bos itu gimana?"
Eza membuka topik baru. Karena sudah lama tidak ke kantor, jadi Eza sudah lama juga tidak bertemu dengan anak itu, terakhir saat dia ikut dengan Pak Wira menjenguk Eza. Ara juga tidak pernah membicarakannya.
"Jangan bahas itu, ah, Bang," sahut Ara.
"Beneran PHP, ya, dia?"
Garpu di tangan kiri Eza jadi dipegang dengan posisi berdiri menusuk pada piring.
Ara memandang abangnya yang seakan siap menghakimi itu.
"Nggak, Bang, jangan su'udzon terus sama dia. Aku cuma masih butuh waktu aja. Lagian, Abang juga belum kasih izin, kan?"
Eza mengangguk-angguk, dia kembali menggunakan garpunya untuk menusuk potongan sosis dalam nasi goreng di piringnya.
"Bagus, soalnya dia masih gue observasi."
"Abang jangan segitunya," kata Ara. Dia kadang jadi merasa tidak enak hati pada adik bos abangnya itu, karena Eza kadang terlalu menunjukkan sikap protektif yang berlebihan, seakan Ara itu setara dengan berlian langka yang sangat berkilau dan sangat mahal harganya; tidak sembarang orang pantas memilikinya. Padahalkan, kalau ditelaah, tidak usah terlalu dalam lah, telaah di permukaan saja orang sudah bisa lihat: lelaki--adik Pak Wira yang menyukai Ara itu, di sini dia lah yang berperan sebagai berlian yang berkilau. Dan, Ara hanya orang biasa yang sepertinya tidak pantas untuk menjadi pemiliknya.
"Selain gue, gue yakin Dido juga mau lo dapet cowok yang paling baik, Ra. Makanya, gue sebagai abang yang ada di sisi lo, harus memastikan lo jatoh ke tangan yang tepat," ucap Eza.
Ara menghela napas.
"Lagian, Bang, Ara sama adik Pak Wira itu gak satu kasta. Abang salah kalo terus mikirin pertimbangan dia pantes atau nggak sama Ara. Ara, Bang, yang gak pantes sama dia."
Eza menatap adiknya, mulutnya terbuka saat mendengar penuturan yang menunjukkan perasaan rendah diri itu.
Ara tidak lagi menatap Eza, dia merunduk--fokus pada nasi goreng di hadapannya, wajahnya terlihat menyendu.
"Ra, jangan mulai, deh, gak PD-nya. Lo jangan rendahin diri lo kayak gitu. Yang kastanya lebih tinggi juga belum tentu dalam hal akhlak, adab, dan etikanya lebih baik dari lo. Kasta tinggi, tapi kalo akhlak, adab, sama etiknya rendah, ya, dia gak ada apa-apanya kalo menurut gue. Kalo gue, sih, lebih seneng sama cewek yang akhlak, adab, sama etikanya tinggi, ya, daripada kastanya. Tuhan juga gak mandang kasta, lagian. Eh, tapi gak tahu deh, ini, kan, dari kaca mata gue yang emang gak ada di posisi kasta tinggi. Tapi kayaknya keluarga Pak Wira juga gak mandang kasta, deh, Ra, mereka gak keliatan gila kasta, mereka baik-baik."
"Kalo mereka baik-baik, kenapa Abang masih neting aja sama adiknya Pak Wira?"
"Bukan neting, Ra. Gue cuma masih butuh observasi kelakuannya itu. Lo liat aja, tuh, anak agak laen, gak sama, sama Pak Wira."
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR (On Going)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** .. Terkadang pengingkar tidak berniat mengikari tapi apa daya saat tuhan sudah menghendaki ..