Walaupun dengan tubuh masih lemas, tapi hari ini Eza akan berangkat kerja. Malu sama bos, sudah tiga hari absen.
Eza mematut diri di depan cermin dalam keadaan setengah telanjang. Dia sedang memandangi sisa-sisa masa kelamnya.
Tubuhnya dihiasi tatto dari pundak, dada, sampai punggung, dan tangan.
Dari SMP, Eza memang sudah jadi anak yang bengal. Sepeninggal ayah, dia yang sangat dekat dengan ayahnya, otomatis menjadi kacau. Ikut tawuran dengan anak SMA, merokok, sampai mabuk; beli minuman ilegal hasil patungan.
Saat kemudian harus kehilangan ibu juga, Eza jadi semakin menjadi. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya, sejak itu Eza menjadi kurir penjualan barang haram.
Dido tak tahu soal itu. Dido tahunya Eza dapat uang saat itu dari hasil joki game dan jaga warnet.
Keluar SMA, Eza jadi pemakai. Masih menjadi kurir penjualan barang-barang haram juga karena sumber penghasilan dari sana lumayan besar. Dia juga mulai balapan liar setelah mampu membeli motor gede dari penghasilannya itu.
Saat itu, Eza bisa saja kuliah dengan penghasilannya yang terhitung lumayan. Tapi Eza sudah terlanjur hancur, yang ada nanti dia di D.O duluan, sebelum sempat masuk gedung kampusnya, karena beberapa hari setelah lulus SMA, tubuhnya langsung dihiasi beberapa tatto.
Tak pernah Eza kira Dido akan pergi secepat itu. Namun, jika Dido tidak pergi, mungkin Eza tidak akan pernah berubah.
Eza menunduk, seringkali perasaan bersalah menghinggapi hatinya. Harusnya Eza tidak menyeret Dido ke dalam dunianya.
"BANG! ARA UDAH BELI SARAPAN!"
Mendengar teriakan Ara dari luar, Eza menengok ke arah pintu.
"IYA! BENTAR!" sahutnya balas berteriak.
Kemudian Eza melangkah, mengambil kemeja dalam lemari lalu memakainya, menutupi sejarah masa lalu yang membekas di tubuhnya.
-
"Bang, minta izin lagi aja sampe bener-bener sembuh. Masih pucet lho," ucap Ara, sebagai adik dia merasa khawatir melihat abangnya yang masih loyo tapi bergaya seolah sudah sehat itu.
"Gak pa-pa, Ra. Badan tuh jangan dimanja, harus dipaksain, nanti juga sembuh sendiri. Penyakitnya, kan, tar minder," sahut Eza sembari memakan lontong sayur dengan lahap.
Tapi sepertinya Eza hanya memaksakan, karena dia berkali-kali terlihat ingin muntah.
-
"Bawa motornya hati-hati, Ra," kata Eza.
Ara yang hendak menaiki scoopy pink-nya mengangguk.
Eza membiarkan Ara mandiri sejak kelas 3 SMA. Dia mengajarkan Ara motor dan setelah Ara bisa mengendarainya dengan baik, Eza membelikan motor yang adiknya itu inginkan.
Puji syukur keuangan mereka terus stabil dan terus menjadi lebih baik karena Eza sering mendapat uang bonus juga dari bosnya.
Tapi sesekali Eza masih mengantar-jemput Ara kalau dia lagi libur, kalau lagi libur Eza suka memaksa Ara supaya tidak bawa motor agar dia bisa mengantar-jemputnya.
"Bang Eza juga hati-hati."
"Iya. Nanti pulang jam berapa? Kabarin, ya."
"Iya. Dah, Abang. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsallam."
Motor Ara melaju duluan.
Eza memijit pelipis. Dipakai jalan beberapa langkah saja tubuhnya kembali berulah; pusing dan meriangnya kembali terasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR (On Going)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** .. Terkadang pengingkar tidak berniat mengikari tapi apa daya saat tuhan sudah menghendaki ..