"Ido, gak boleh mati. Ido, gak boleh mati... lo gak boleh mati... DO!!! LO GAK BOLEH MATIIII!!!!"
Teriakan itu menggema di lorong UGD saat ranjang pasien yang mengalami kecelakaan satu jam yang lalu akan dipindahkan ke ruang ICU, tiba-tiba saja tubuhnya yang penuh luka itu mengejang dan darah terus keluar dari mulutnya.
Orang-orang yang tak sengaja melihat, langsung memalingkan wajah. Siapa pun tahu... itu akan menjadi akhir, kecuali tuhan berkehendak lain.
--
"Hanya jika pihak keluarga menyetujui. Tapi, kami mohon persetujuannya. Ada seseorang yang perlu ditolong sesegera mungkin."
Kertas persetujuan donor organ teronggok di hadapannya. Tidak tahu, kah, mereka seberapa besar duka yang sedang dia rasa? Tatapan matanya yang kosong, mengharapkan kejadian ini hanya sebuah mimpi buruk, dan saat dia terbangun sang kakak ada... sedang memasak sarapan sederhana di dapur kecil mereka.
Persetan dengan kertas persetujuan donor yang teronggok nyata.
Tapi Dido adalah orang yang sangat baik. Hidupnya terlalu banyak memikirkan orang lain, bahkan entah sejak kapan Dido punya kartu donor. Sudah ada firasat, kah, dia akan pergi mendahului?
Tangannya terayun mengambil pulpen di sisi kertas lalu memberikan coretan tangannya dengan sekejap.
Dia kemudian pergi begitu saja, bahkan ucapan terimakasih dari pria paruh baya bersneli putih di hadapannya, tidak dia dengar.
Bagaimana dia harus bilang tentang kepergian Dido kepada Ara? Adik kecilnya, adik kesayangan Dido.
Di tengah kepala yang menunduk dalam, terdengar tangis bahagia dari orang-orang yang baru saja tiba. Sekarang Dido pasti sedang tersenyum bahagia di atas sana. Di akhir hidupnya, dia masih bisa jadi orang yang bermanfaat untuk orang lain.
Dan, dia... Syeza Ranjani atau yang lebih akrab disapa Eza, adik pertama Dido, saksi mata detik-detik terakhir kejadian yang merenggut hidup kakaknya, Eza hanya bisa tertunduk dengan duka mendalam, membiarkan air matanya mengalir dan isakannya terdengar.
--
--
Seusai pemakaman, Eza pulang paling akhir karena ada beberapa hal yang harus dia urus.
Terlihat masih ada beberapa orang yang meramaikan rumah, semua adalah teman-temannya dan teman teman Dido.
"Ara mana?" tanya Eza pada salah satu temannya.
"Di kamar kayaknya, Za."
Terdengar sahutan sendu yang membuat hatinya sesak.
Ara terus menangis meraung-raung sejak Eza pulang dengan jenazah Dido. Bahkan, dia memukul-mukul Eza, menuntut Eza untuk bicara bahwa semuanya tidak nyata.
Gadis berusia 16 tahun itu sedang meringkuk di ranjangnya, memeluk boneka panda berukuran sedang yang setahu Eza dibelikan oleh Dido saat Ara masih SMP.
Semakin mendekat, semakin terdengar isakan kecil, tampak tubuh itu bergetar.
Eza duduk di tepi ranjang, mengusap rambut Ara yang meringkuk memunggunginya.
Biasanya Dido yang selalu ada untuk mengusap-ngusap rambut Ara saat dia menangis begini.
"Ra, lo harus ikhlasin Dido," ucap Eza lirih seraya mengusap-ngusap rambut lurus adiknya yang terurai.
Ara menjawab dengan gelengan kuat, isakannya mengencang.
"Ada gue, Ra."
Walaupun hatinya juga ingin terpuruk, tapi Eza harus tetap berdiri tegap untuk adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIAR (On Going)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** .. Terkadang pengingkar tidak berniat mengikari tapi apa daya saat tuhan sudah menghendaki ..