PART 4

606 105 4
                                    

Saat Eza membuka mata, gorden putih tipisnya sudah ditembus cahaya matahari, yang membuat kamarnya yang semalam gelap, sekarang menjadi cukup terang.

Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, tangan Eza meraba-raba. Menyalakan handphone.

"ARA!!"

Dia langsung terperanjat kaget saat jam di handphonenya sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB.

Semalam Eza begadang sampai pagi. Kebiasaan keluyuran malam, tidur pagi, jadi membuatnya susah untuk tidur di waktu malam.

Dengan langkah terburu-buru dan sempoyongan, Eza keluar dari kamar.

Rumah sudah sepi. Tentu saja Ara sudah berangkat ke sekolah dari beberapa jam yang lalu.

Berangkat sama siapa anak itu?

Bodoh Eza. Dido pasti lagi marahin lo sekarang.

Eza merutuki kebodohannya. Padahal sudah pasang alarm jam 6.

🤦‍♂️

Eza melangkah ke meja makan. Ada sepiring nasi goreng yang ditutup oleh tisu dan ada secarik kertas di atasnya.

'Bang Eza makan.. Ara berangkat pake gojek.'

Eza kemudian duduk di kursi makannya itu diiringi embusan napas panjang. Lalu Eza menyalakan handphone. Meskipun tahu jam segini Ara sedang jam pelajaran, tapi Eza tetap mengirimnya pesan.

Ara

Ra, maafin ya gue kesiangan. Makasih sarapannya, harusnya gue yang siapin. Nanti balik gue jemput, jangan pulang duluan, gak kan ngaret kok. Janji.

--

Ara mendecak berkali-kali. Dari halte depan sekolah, dia terus celingukan. Bilangnya janji, tapi lagi-lagi diingkari.

Abangnya belum juga datang, padahal sudah  dari 15 menit yang lalu Ara pulang. Sekolah bahkan sudah mulai sepi sekarang.

Mana Eza susah banget dihubungin.

Hampir setengah jam Ara menunggu. Akhirnya sang abang dengan motor hitamnya terlihat dari kejauhan. Setelah sampai di depan halte, dia membuka helmnya. Memperlihatkan cengiran lebar yang tak berpengaruh sama sekali untuk memperbaiki mood Ara yang kepalang hancur itu.

"Maaf, Ra, tadi gue dapet lowongan kerja, terus langsung bikin lamaran, langsung dikirim."

Wajah Eza tampak merasa bersalah, bibirnya maju; merajuk.

Ara menghela napas. "Jangan sekali-kali lagi. Apa susahnya sih kabarin?! Ara, kan, bisa pulang sendiri," kesalnya sembari naik ke atas motor, menerima helm yang disodorkan Eza.

Kekesalannya yang setengah mati, dia redam begitu mendengar kalau Eza telat karena mempersiapkan lamaran pekerjaan. Ara tidak boleh marah karena alasan itu, Eza, kan, kerja untuk dirinya.

"Sebagai permintaan maaf, kita mampir ke pizza hut!" Eza mulai menyalakan mesin motor, berkata dengan  semangat.

Ara mencubit ujung kaos abangnya untuk berpegangan.

"Gak mau, jangan buang-buang uang. Masak aja, Bang," kata Ara.

"Lo, kan, suka, Ra. Gak pa-pa uang masih sisa banyak, kok!" sahut Eza sedikit berteriak agar Ara di belakangnya bisa mendengar.

Iya, Ara suka Pizza, dulu sering dibeliin sama Dido.

Ara memanjangkan tangan, jadi memeluk perut abangnya. Kemudian Ara menyandarkan kepala pada punggung kurus itu.

Tidak kekar seperti Dido, tapi nyamannya sama.

Eza yang kaget karena tidak terbiasa, perlahan mengembangkan senyuman.

Pantas Dido sangat menyayangi adik perempuannya itu, ternyata di perlakukan manis seperti ini mampu membuat hatinya menghangat.

Tekad Eza untuk bekerja keras agar masa depan Ara terjamin, semakin tersulut.

Gue janji, Do, bakal hidupin Ara sebaik mungkin.

--

--

LIAR (On Going)  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang