Dua

4.5K 368 30
                                    

Sesuai janjinya pada kakaknya, Dira setiap siang menemani kakaknya di rumah sakit. Entah menyuapinya, mengajak bicara, ataupun saat mengajaknya di taman rumah sakit.

Lima hari berlalu, dan Dira yakin kakaknya baik-baik saja. Bahkan mereka saling bersenda gurau. Masih jelas di benaknya jikalau kakaknya memancarkan kebahagiaan atas kebersamaan mereka. Namun, kenapa ia harus mendengar kakaknya drop?

Bahkan Dira kini menenangkan Ibunya yang menangis dalam dekapannya. Dira berharap keadaan kakaknya baik-baik saja. Tidak ingin terjadi suatu hal yang tak diinginkan.

"Gimana keadaannya, Dok?" tanya Abi saat melihat Dokter keluar dari ruangan.

Dokter tampak menghela napas. "Lebih baik daripada saat beberapa waktu yang lalu. Pasien juga ingin bertemu dengan semua keluarganya."

Ibu berdiri, Dira pun mengikuti. Hanya ada lima orang di sini. Dira bagian terakhir masuk ke ruangan. Dira menahan rasa sesak saat keadaan kakaknya bisa dikatakan tidak baik-baik saja.

"Kalian kenapa nangis? Sintia baik-baik aja kok."

"Gimana baik-baik saja? Kamu sampai drop, Sin. Gak usah terlalu banyak pikiran." Ibu Dira memegang tangan kurus putri sulungnya. Sebagai Ibu, ia ingin putrinya sembuh dan berkumpul seperti dulu. Tidak setiap waktu berada di rumah sakit seperti ini.

Mereka yang tahu penyakit Sintia tak menghentikan tangisannya. Dira yang tak mengetahui juga ikut menangis. Bahkan Abi, sang suami juga menahan rasa sakit ketika istrinya dalam kondisi tak baik-baik saja.

"Sini, Dek," suara lemah Sintia masih didengar Dira. Dira melangkah mendekati kakanya. Menggenggam tangan kurus itu dan mengecupnya. Dira sangat menyayangi kakaknya.

"Kamu ingat 'kan ucapan Mbak beberapa hari yang lalu?"

"Yang mana Mbak? Kita 'kan bahas banyak banget."

"Kalau kamu akan turuti permintaan Mbak yang terakhir kali," ujarnya pelan.

"Mbak kok ngomongnya gitu sih?" isak Dira, menghentikan laju air matanya kian deras. Entah kenapa Dira memiliki perasaan tak enak mendengar ucapan kakaknya yang seperti akan pergi selama-lamanya.

Tidak, Dira ingin kakaknya seperti dulu. Ia berjanji akan menuruti keinginanan kakaknya jikalau kakaknya sembuh dan berkumpul di rumah.

"Dira, maaf kalau Mbak terlihat egois kali ini. Kamu mau ya, menikah dengan Mas Abi. Mbak mohon," pintanya, seraya menyatukan tangan Dira dan juga Abi.

Tentu keduanya syok, terutama Dira. Bagiamana bisa permintaan kakaknya begitu konyol. Dira langsung menyentak tangannya agar terlepas dari tangan Abi.

"Sintia!"

"Mbak!"

"Aku ingin kalian menikah Mas. Tolong turuti keinginanku, hiks." Tangis Sintia pecah. Ia melakukan ini karena ia merasa inilah yang benar.

"Mbak jangan bercanda, ini gak lucu sama sekali."

Dira kecewa dengan keinginan kakaknya. Dira memilih pergi dari ruangan itu dengan hati bercampur aduk.

Kepergian Dira, Abi menatap tak percaya pada Sintia. Permintaan Sintia memang konyol.

"Sintia, gak seharusnya kamu bilang begitu."

"Mas, Sintia mohon ya. Mas mau 'kan menikah dengan Dira. Aku udah gak sanggup lagi, Mas. Aku ingin menebus kesalahan dan keegoisan aku di masa lalu sebelum aku gak ada di dunia ini," isak Sintia menggenggam erat tangan suaminya.

"Sintia, jangan bilang begitu, nak." Ibu dan ibu mertua menatap Sintia penuh kesedihan.

"Aku mohon Bu, bujuk Mas Abi dan Dira menikah di depanku. Ini yang terakhir kalinya. Sinta mohon, Bu, Mas," lirihnya. Semakin menggenggam erat tangan Abi.

𝐌𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐩𝐚𝐫 (𝐄𝐍𝐃)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang