Dua jam kemudian bis yang ditumpangi Dira telah sampai di terminal. Dira menunggu orang-orang turun terlebih dahulu. Barulah dirasa sepi, Dira keluar dari bis dan membawa barangnya. Dira duduk di salah satu kursi kosong.
Ia pun menghubungi Abi agar menjemputnya. Dideringan pertama dan kedua Abi tak mengangkatnya. Dira menghela napasnya pelan, sedikit kecewa kala Abi sama sekali tak mengangkat teleponnya. Padahal pria itulah yang menawarinya.
"Kalau sampai ketiga gak diangkat, aku bakal naik ojek aja," kesal Dira.
Akhirnya ia kembali menghubungi Abi. Belum sampai ke tahab berdering, Dira mendengar suara familiar terdengar di telinganya. Suara Abi memanggil namanya.
"Dira!"
Dira segera mencari sumber suara Abi, dan setelahnya ia melihat suaminya berjalan mendekat ke arahnya dengan pakaian kerjanya. Di mata Dira, Abi terlihat bertambah tampan setiap waktu ia melihatnya.
"Mas Abi?"
"Maaf ya, baru aja Mas sampai. Terus cari kamu. Akhirnya ketemu." Abi terlihat lega melihat sang istri.
"Ini barangmu? Mas bawa ya." Abi mengambil tas Dira lalu mereka berjalan beriringan.
"Mas, tadi Dira telepon kenapa gak diangkat?" tanya Dira penasaran.
"Mas lupa bawa ponsel, Dir. Bahkan Mas lupa bawa dompet," sahut Abi terkekeh malu.
"Kok bisa, Mas?" tanya Dira penasaran. Kenapa sampai suaminya lupa dua benda yang pastinya sangat penting itu.
Abi diam sesaat, jika dilihat lebih teliti lagi, telinganya berwarna merah. Dan semburat samar di wajah Abi. Sayangnya Dira tak melihat itu, dan Abi pintar menutupinya.
"Bisa aja. Namanya manusia pelupa itu wajar." Dira mengangguk mengerti. Karena ia juga sering lupa.
Mereka pun masuk ke mobil Abi. Abi mengemudikan mobilnya berlalu dari terminal. Dira sesekali melirik suaminya tanpa Abi tahu. Rasa kecewa yang awalnya Dira rasakan pada Abi tiba-tiba menguap begitu saja. Tak lama kemudian mereka telah sampai.
"Maaf kalau Mas antar sampai sini."
Dira tertawa. Kenapa Abi harus minta maaf? Mereka 'kan sudah sampai depan rumah."Ya ampun, Mas. Kenapa kamu bilang gitu sih? Ini 'kan sudah sampai di rumah." Dira tanpa sadar memukul lengan Abi berkali-kali sambil tertawa. Tentu saja Abi terkejut mendapat serangan dari Dira. Mana lagi pukulan Dira tak main-main.
Dira pun tersadar akan sikap bar-barnya, menelan saliva susah payah. Bagaimana kalau Abi tak suka? Atau malah dia marah. Duh, ini juga si tangan, gampang banget melayangnya.
"Maaf, Mas." Dira meminta maaf atas sikapnya. Kebiasaannya yang suka memukul saat tertawa tak bisa diubah.
"Gak papa kok." Abi tersenyum tipis membuat Dira lega.
"Kalau gitu Dira turun ya, Mas. Hati-hati di jalan." Setelah berucap, Dira buru-buru keluar dari mobil serta membawa tasnya. Dira sampai lupa kalau ia tak memiliki kunci rumahnya.
"Astaga!" Dira memukul pelan keningnya. Membalikkan tubuhnya untuk menemui Abi sebelum pria itu berlalu.
"Kamu lupa bawa kunci rumah." Abi ternyata sudah ada di belakang Dira. Abi langsung menyerahkan kunci rumah pada Dira. Dira pun menerima kunci tersebut.
"Makasih, Mas."
"Sama-sama."
"Em, Mas?" panggil Dira saat Abi akan balik ke mobilnya.
"Ya?"
Dira mendekati Abi, mengambil tangan Abi lalu ia cium. Abi tersenyum, ia pun memvberi sebuah kecupan di kening Dira. Setelah itu, barulah ia berjalan menuju ke mobilnya berada.
Dira, jantung kamu masih aman 'kan?
****
Sorenya Dira memasak untuk makan malam nanti. Makanan sederhana dengan beberapa menu saja. Di rumah ini hanya ada ia dan Abi saja. Mungkin rumah ini akan ramai kalau ada anak-anak.
Eh, apa yang tadi ia pikirkan?
Dira segera menggelengkan kepala. Bisa-bisanya ia berpikir tentang anak di rumah ini. Kalau mau punya anak, harus buat dulu dong. Sayangnya sampai sekarang ia dan Abi belum melakukan hal itu. Bukan berarti ia berharap Abi menyentuhnya. Buat anak, kalau tak ada tandingannya, gimana jadinya.
"Ya Gusti, Dir, makin lama otak kamu gak beres," keluhnya pada diri sendiri.
Dira meletakan hasil masakannya di piring lalu ia letakan di meja makan. Tak lupa juga ia menutupi makanan itu sebelum ia berlalu menuju ke kamar mandi.
Dira tadi memilih masak terlebih dahulu daripada mandi. Nah, karena sekarang sudah selesai, ia akhirnya bisa membersihkan diri.
Beberapa saat kemudian ia selesai mandi. Dira merasa di rumah sendiri agak membosankan. Seraya menunggu Abi pulang, Dira hanya menonton televisi untuk membunuh kebosanannya.
Menit demi menit berlalu, Dira mendengar suara mobil Abi terhenti di depan rumah. Suami telah pulang, Dira segera berjalan ke depan untuk menyambutnya.
"Assalamualaikum," ucap Abi saat melihat Dira di depannya.
"Waalaikumsalam, Mas," sahut Dira. Dira mengambil tas Abi lalu mencium tangannya.
"Mas mandi dulu ya."
"Iya, Mas."
Dira mengikuti Abi dari belakang. Jika Abi masuk ke kamar mandi, Dira meletakan tas Abi di meja tak jauh dari ranjang mereka. Dira memang sengaja tak memilihkan pakaian ganti untuk Abi. Dira hanya takut saat ia memilihnya, Abi malah tak suka.
Dira menghela napas pelan, ia memilih menunggu Abi di ruang makan. Tak lama kemudian Abi datang dengan rambut yang masih basah. Melihatnya, Dira gemas ingin mengeringkannya. Tapi, Dira tak mau lancang meski Abi adalah suaminya. Dua minggu menikah dengan Abi, Dira masih tak berani terlalu sok pada Abi.
Selepas Abi duduk di kursi, Dira mengambil makanan untuk suaminya. Abi mengucapkan terima kasih, dan dijawab sama-sama olehnya. Dira juga mengambil makan dan makan bersama dalam keadaan hening.
"Masakanmu enak, Dir," puji Abi seusai makan.
"Syukurlah kalau Mas Abi suka." Dira menyembunyikan rona bahagianya saat dipuji sedemikian rupa.
Dira membereskan piring kotor dan ia bawa ke wastafel untuk di cuci. Sisa makanan dimasukan ke kulkas oleh Abi.
"Mas, bisa minta tolong ambil gelas di meja?" pinta Dira.
"Sebentar."
Dira membilas piring lalu ia letakan di rak. Dira menahan napas saat Abi berada di belakangnya, meletakan gelas di watafel namun dengan posisi seperti memeluk dari belakang.
"Mas?" Jantung Dira bertalu-talu, apalagi Abi seperti tak ingin beranjak.
"Ah, astaga. Maaf." Abi mundur ke belakang, merutuki sikapnya. Bahkan Abi mengusap wajahnya kasar. Bagaimana bisa ia berlaku seperti pria mesum. Tanpa kata lagi ia beranjak pergi dari dapur. Abi merasa malu dan pasti Dira tak nyaman dengan sikapnya.
Dira menutupi wajahnya yang merona, dengan jantung berdetak penuh irama. Dira— gak kuku gak nana.
"Mas Abi kenapa sih bikin aku baper? Kalau aku berharap lebih gimana?"
Gak papa, Dira, sah-sah saja kok. Kalau bisa kamu terjang aja biar jadi milikmu
Dira menggelengkan kelalanya. Siapa sih tadi yang bisikin sesat gitu?
****
05/02/22Adakah stay sama cerita ini wkwkwk.
Thanks sudah membaca apalagi memberi vote. See you next chapter!

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐩𝐚𝐫 (𝐄𝐍𝐃)
RomanceMenikah dengan Ipar bukan sesuatu yang pernah Dira pikirkan. Meski Dira mengakui bahwa ia mencintai pria bernama Abi, jauh sebelum Abi menikahi Sintia, Kakaknya. Mereka menikah atas permintaan terakhir kakaknya. Menikah yang sama-sama tak saling cin...