Lima

4.8K 383 24
                                    

Pada akhirnya Dira resign dari pekerjaan sesuai keinginan Abi. Abi juga begitu, ia segera mengurus pernikahannya bersama Dira, agar tak hanya sah di mata agama, tapi juga sah di mata negara.

"Apa perlu Mas antar, Dir?" tanya Abi melihat pagi ini Dira akan pergi ke luar kota, ke tempat Dira bekerja. Sekalian Dira juga ingin mengambil beberapa barangnya di kost.

"Enggak usah, Mas. Mas 'kan kerja. Dira bisa sendiri kok," tolak Dira. Toh, hanya di kota tetangga sehingga tak terlalu jauh juga.

"Beneran?" tanya Abi memastikan. "Mas gak masalah antar kamu. Mas bisa izin," lanjutnya.

"Iya, Mas. Daripada antar aku, mending Mas kerja aja."

Abi hanya mengangguk, tak memaksa saat Dira menolaknya.
"Kalau gitu, kamu hati-hati di jalan, ya." Abi mengusak rambut Dira.

"Mas juga, semangat kerjanya." Dira tersenyum tipis. Mencium tangan suaminya saat Abi akan berangkat kerja.

Kepergian Abi, Dira menghela napas pelan. Dira pikir, Abi akan memperlakukannya dengan dingin, seperti cerita-cerita seseorang menikah tanpa cinta. Tapi ternyata, suaminya cukup perhatian. Untuk saat ini, semuanya baik-baik saja. Abi memperlakukannya sebagaimana mestinya.

"Mbak Sintia, aku harap Mbak merestui aku untuk mendekati Mas Abi. Membuat Mas Abi punya rasa sama aku. Aku— ingin mencintai dan juga dicintai."

Bagaimanapun, Abi tak mau menalaknya. Mungkin Tuhan juga memberinya kesempatan padanya untuk dekat dengan Abi. Munafik jika Dira tak ingin cinta dan cukup bersama saja.

****

Setelah perjalanan selama 3 jam, akhirnya Dira sampai ke kostnya. Setelah itu Dira memberi surat pengunduran diri di kantornya dan syukurlah langsung diterima. Dira tadinya berpikir nanti pasti akan sulit, tapi ternyata dipermudahkan.

Kini Dira mengemasi barang-barang yang ada di kost. Sekiranya memang benar-benar paling penting. Selebihnya biar dimiliki teman satu kostnya.

"Kamu beneran nikah, Dir?" tanya Sasi, teman satu kost Dira.

"Iya, Sas, makanya aku resign," sahut Dira seraya memasukan barang di tas.

"Seingatku kamu bilangnya mau jenguk kakakmu yang sakit. Lah kok malah udah nikah aja. Kamu dijodohin?"

Dira tersenyum tipis, memang awalnya  begitu. Tapi siapa sangka malah mendapat suami. Namun, Dira tak akan menceritakan pada teman satu kostnya ini. Tak mungkin ia bilang kalau suaminya, suami mendiang kakaknya.

"Gak kok kalau dijodohin," sahut Dira. Benar 'kan kalau ia dan Abi tak dijodohkan. Ya cuma– udah, Dira tak mau membahasnya.

"Aku turut berduka cita ya atas kepergian kakakmu."

"Iya, makasih."

"Kamu nginap aja di sini, Dir. Besok aja pulangnya. Nanggung 'kan, apalagi kamu pasti capek," usul Sasi.

Dira melihat jam di pergelangan tangannya. Saat ini udah jam 3 sore. Sebenarnya ia juga capek sekali, malah ngantuk juga. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan Sasi, lebih baik ia menginap lalu besok pulang.

"Iya nih, aku juga ngantuk. Kayaknya nginap aja ya." Dira akhirnya mengambil ponselnya. Mengetik pesan untuk dikirimkan pada Abi. Perjalan pulang nanti pasti panjang. Jadinya ia memutuskan pulangnya besok saja

To Mas Abi :
Mas Abi, kayaknya aku gak pulang hari ini. Tapi besok aku pulang kok.
Send.

Pesan terkirim meski masih centang dua berwarba abu-abu. Pasti suaminya masih kerja, pikirnya.

"Aku tidur dulu ya, Sas. Nanti jam 4 bangunin aku," pinta Dira seraya menguap. Ia pun menjatuhkan diri di ranjangnya. Tak sampai 10 detik, Dira telah sampai di alam mimpi.

"Dasar." Sasi menggelengkan kepala melihat Dira sudah tidur lelap.

Di kota yang berbeda dan jam yang tak sama, Abi baru saja selesai meeting. Getaran ponselnya terasa sedari tadi, karena masih meeting, Abi mengabaikannya.

Abi pikir Dira akan meneleponnya, ternyata ada satu pesan dari Dira yang tertangkap di matanya dari banyaknya pesan orang lain.

Wife D :
Mas Abi, kayaknya aku gak pulang hari ini. Tapi besok aku pulang kok.

"Rumah sepi," gumam Abi tanpa sadar.
Abi pun langsung membalas pesan dari Dira.

Wife D :
Apa perlu Mas jemput? Tapi kalau kamu memang mau pulang besok dan menginap di kost, jangan lupa kabari ya.
Send.

Terkirim, tapi masih centang satu. Abi menghela napas, menyandarkan punggungnya seraya mengetuk-ketuk meja kerjanya.

Tak ada tanda-tanda centang dua atau dibaca. Akhirnya Abi kembali bekerja meski sesekali melihat ponselnya. Berharap ada balasan dari istrinya. Abi terkekeh pelan, menggelengkan kepalanya untuk segera fokus pada pekerjaannya.

****

Keesokan harinya sekitar jam 7 pagi, Dira telah bersiap-siap untuk pulang. Ia diantarkan oleh Sasi menuju ke terminal.

"Makasih ya, Sas," ujar Dira pada Sasi setelah sampai.

"Sama-sama, hati-hati di jalan ya."

"Oke. Kamu juga semangat kerjanya."

"Pasti dong." Mereka tertawa bersama sebelum sama-sama berlalu dengan tujuan berbeda. Dira melambaikan tangannya lalu masuk ke bis. Tak ada setengah jam bis langsung berangkat ke tempat tujuan. Selama di bis, Dira membuka ponselnya. Terdapat pesan dari suaminya dan pesan dari kemarin.

"Astaga." Semalam Dira sama sekali tak menyentuh ponselnya. Bahkan saat ia bangun tidur sore. Ia dan Sasi bercanda bersama, mencari makan, dan menonton. Dira seakan lupa kalau ia sudah bersuami.

"Bagaimana lagi, ponselku 'kan biasanya jarang aku sentuh. Yah, namanya lupa." Dira bergumam kecil, sama sekali tak ada yang mendengar. Kalau ada yang mendengar, bisa-bisa Dira dianggap gila.

To Mas Abi :
Maaf Mas baru balas. Semalam Dira gak buka ponsel sama sekali. Gak tau kalau ada pesan dari Mas.
Send.

Tak lama kemudian pesan Dira centang biru dan tertera bahwa Abi sedang mengetik.

Mas Abi :
Iya, gak papa. Jadi pulang jam berapa?

Saya :
Ini lagi di bis, Mas. Dua jam lagi sampai kok.

Mas Abi :
Nanti kalau sampai di terminal, hubungi Mas, ya. Biar Mas yang jemput kamu.

Dira tersenyum kecil membaca pesan Abi. Meski terlihat biasa saja balasan dari Abi. Tapi Dira merasa itu romantis juga. Perhatian kecil, tapi luar biasa bagi Dira.

"Gini kalau udah cinta. Dikit-dikit baper." Dira segera membalas pesan dari Abi. Apalagi saat Abi online, seperti pria itu menunggu balasan.

Saya :
Nanti ngerepotin, Mas. Biar Dira naik ojek aja.

Mas Abi :
Sama sekali gak ngerepotin. Mana ada direpotin istri.

Nah 'kan, nah 'kan. Gimana gak baper coba. Dira tuh lemah hatinya. Ya Tuhan, serakah gak papa 'kan. Gak banyak kok, cuma dikit.

Saya :
Beneran gak papa, Mas? Mas 'kan kerja.

Mas Abi :
Iya, sayang. Nanti bisa izin kok. Jangan lupa nanti telepon kalau sampai ya."

WHAT??!!

Dira mengusap kedua matanya. Kayak ada yang salah dengan pesan dari Abi. Siapa tahu matanya burem. Tapi, ini benaran panggil sayang? Atau salah ketik.

"Ya Tuhan, terlalu cepat gak sih? Tapi Dira sukaaaa."

"Jantung, kamu harus aman ya. Jangan berdetak lebih kencang. Siapa tau Mas Abi salah ketik atau khilaf. Atau bisa jadi keyboardnya otomatis."

Astaga, Dira merona.

****
04/02/22

Maaf ya kalau ceritaku gini-gini aja. Semoga terhibur oke.

See you next chapter 😘😘

𝐌𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐩𝐚𝐫 (𝐄𝐍𝐃)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang