Dua hari Dira telah melakukan olah raga agar dietnya lancar. Sayangnya, sepulang lari pagi, perutnya terasa sakit hingga siang hari. Untuk bergerak saja, Dira rasanya tak sanggup.
Padahal Dira tak makan hal yang salah. Ia makan sayuran dengan nasi hanya 3 sendok. Lantas, kenapa perutnya luar biasa sakit sekali.
Tok tok tok.
Ketukan pintu rumah depan terdengar. Tertatih-tatih Dira membuka pintu. Di sana, ia melihat ibu mertuanya berdiri di depan seraya membawa sebuah rantang. Langsung saja Dira mencium tangan ibu mertuanya dan mempersilakan masuk ke rumah.
"Muka kamu pucet, Dir?" Ibu Abi menatap menantunya khawatir.
"Masa sih, Bu? Mungkin gara-gara sakit perut."
"Kamu sakit perut? Udah minum obat?" Dira menggeleng sambil meringis kecil.
"Kalau sakit langsung minum obat biar gak parah. Bentar, Ibu mau menaruh masakan ini di meja makan." Ibu Abi berlalu ke ruang makan.
Dira menggigit bibirnya, ketika rasa sakitnya makin terasa. Keningnya mengernyit saat merasakan bawah di bawah sana. Sontak saja, Dira berdiri dan aliran darah turun di kakinya.
"Darah?" kagetnya.
"Dira, kamu kenapa?" Ibu Abi mendekati Dira dan terkejut melihat aliran darah di kaki Dira.
"Ibu, sakit," ringis Dira semakin menggigit bibirnya.
"Dira— kamu," lirih Ibu Abi mendekati sang menantu. Segera saja Ibu Abi membawa Dira ke rumah sakit terdekat. Tak ingin terjadi apa-apa dengan menantunya.
"Sakit, Bu," isak Dira meremas tangan Ibu Abi.
"Sabar sayang, kita nanti sampai. Pak, cepetin." Ibu Abi menyuruh sopir untuk mempercepat laju mobilnya.
Entah kenapa Dira merasakan hal tak enak. Karena pikiran Dira tertuju pada kehamilan saat melihat darah mengalir dari bawah sana.
****
Entah sudah berapa lama Dira tak sadarkan diri, akhirnya kelopak matanya lerlahan bergerak dan terbuka. Dira menoleh melihat tangannya terdapat infus yang terpasang.
Tak usah di tanya kenapa, Dira sudah tahu jawabannya.
Tangan Dira mengelus perutnya, bayangan di mana darah mengalir di kakinya membuat tubuhnya merinding.
Ceklek.
Pintu ruang rawat Dira terbuka. Ibu Abi masuk dan menatap khawatir pada sang menantu.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, nak.""Ibu, kata dokter bagaimana?" tanya Dira.
Ibu Abi tersenyum lembut, beliau menggenggam tangan sang menantu dan meremasnya pelan.
"Semua baik-baik saja. Untunglah kamu gak sampai kehilangan calon anakmu. Dokter bilang kamu hampir keguguran," jelasnya lembut.Dira menutup wajahnya sembari menangis. Ia menyalahkan dirinya sendiri, bagaimana bisa ia tak tahu bahwa sedang mengandung. Jika ia benar-benar kehilangan, pasti menyalahkan dirinya.
Tangan Dira mengusap perutnya, meminta maaf pada calon buah hatinya. Andai Dira tahu kalau ia tengah hamil, pastinya ia tak akan olah raga dan berdiet. Dira yakin, ini semua karena ulahnya ingin kurus.
Makasih masih mau bersama Mama, Nak, batin Dira terisak dan mengelus perutnya.
"Udah, jangan nangis." Ibu Abi mengelus punggung Dira.
"Ini salahku, Bu. Andai bukan karena Dira, semua ini gak akan terjadi. Hiks," isak Dira.
"Namanya musibah gak ada yang tau, Dir. Apalagi kamu belum mengetahui tengah hamil. Dan syukurnya calon anak kamu masih bertahan." Ibu Abi terus menenangkan Dira sampai menantunya itu berhenti menangis meski sesenggukan.
Tak lama kemudian pintu ruangan kembali dibuka, sosok Abi datang dan masih memakai pakaian kerjanya. Pria itu berjalan mendekati sang istri, dielusnya rambut Dira yang kembali menangis dalam pelukannya.
Ibu Abi yang paham akan keduanya memilih pergi dari ruangan dan berbicara pada Abi lewat isyarat.
Kini, mereka hanya ada berdua dengan Abi terus menenangkan Dira."Maaf Mas, gara-gara aku, kita hampir kehilangannya," isak Dira di pelukan Abi.
"Gak papa, Sayang. Jangan menangis," ucap Abi mengelus rambut Dira penuh kasih. "Sekarang dia masih bersama kita. Jadi, jangan bersedih."
Dira mengangguk dan mengeratkan pelukannya. Berada dalam dekapan Abi, Dira begitu tenang. Setelah tenang, Abi melonggarkan pelukan mereka dan mengamati wajah ayu Dira.
"Mas boleh tanya?" Dira mengangguk.
Abi berdeham sejenak sebelum bertanya pada Dira.
"Mas tadi saat kerja tiba-tiba Ibu menelepon kalau kamu di rumah sakit. Buru-buru Mas ke sini dan mendengar kabar dari dokter kalau kita hampir kehilangannya. Kalau boleh tau, bagaimana kejadiannya?" tanya Abi pada akhirnya.Karena menurut Abi, Dira tak pernah bekerja sangat keras. Masih dibatas hal yang wajar. Dan tak mungkin hal seperti ini bukan tanpa sebab. Maka dari itu Abi bertanya pada istrinya, kenapa bisa terjadi. Agar lebih jelas.
Dira mendongak dan tatapan mereka bertemu. Ini memang kesalahannya dan ia akan memberitahu pada sang suami. Entahlah, apa nanti Abi marah dengannya atau tidak.
"Jadi, beberapa hari ini aku merasa aku agak gemuk, Mas. Maka dari itu, aku ingin diet dan olahraga," ujar Dira menjelaskan.
"Olahraga?" Kening Abi mengerut, karena seingatnya, ia tak pernah melihat Dira olahraga. "Kapan kamu olahraga?" tanya Abi selanjutnya.
"Olahraganya waktu Mas kerja." Dan terjadilah cerita selanjutnya yang didengar baik oleh Abi.
Setelah mendengar dengan saksama, Abi tampak menghela napas. Dira menatap sang suami takut-takut, siapa tahu Abi marah dengannya. Namun ternyata Abi memeluknya dan bilang tidak apa-apa.
Dira terharu saat suaminya tak marah. Tapi gimana lagi, ia juga tak tahu kalau ia tengah mengandung. Jika tahu, ia pasti akan menjaganya dengan baik.
"Kamu istirahat ya. Kata dokter setelah infus habis, kamu bisa pulang."
"Iya, Mas. Mas bisa kerja lagi. Aku gak papa di sini sendiri," ujar Dira yang pastinya suaminya masih banyak pekerjaan.
Abi sendiri tampak dilema. Bagaimana tidak, di satu sisi, istrinya di rumah sakit. Di sisi lain, pekerjaannya tak bisa ditinggal. Begitulah saat bekerja di perusahaan orang. Tidak bisa seenaknya.
"Kamu yakin di sini gak papa?" tanya Abi memastikan.
"Iya, Mas. Beneran gak papa kamu tinggal."
"Aku bilang sama ibu buat menemani kamu. Mas bakal usahain nyelesain pekerjaan secepatnya."
Dira mencekal tangan Abi saat pria itu akan keluar dari ruangan.
"Kenapa, Dir?" tanya Abi bingung."Mas, aku gak enak kalau ibu di sini nemenin aku." Dira mengutaran keresahannya. Ia tak mau merepotkan ibu mertuanya.
"Kenapa gak enak?"
"Aku takut merepoti ibu," jujur Dira.
Abi tersenyum, mengusak rambut Dira.
"Ibuku juga ibumu, Dir. Gak ada yang direpoti apalagi kondisi kamu kayak gini. Tenang saja, Ibu tak akan keberatan malah senang loh."Akhirnya Dira pasrah dan membiarkan Abi memutuskan semua. Kepergian Abi, Dira tersenyum dan menunduk untuk melihat perutnya. Di sini, ada buah hatinya bersama Abi. Bukti cinta mereka berdua. Yang akan tumbuh dalam beberapa bulan sebelum kelahirannya.
"Astaga, aku lupa gak tanya berapa usianya," lirih Dira seraya menepuk keningnya.
****
17/02/22Ada yang baca? Kuharap gak bosen sama cerita buatanku. Dan menghibur kalian.
Jangan lupa vote ya, sebagai bonus aku buat cerita ini. See you.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐩𝐚𝐫 (𝐄𝐍𝐃)
RomanceMenikah dengan Ipar bukan sesuatu yang pernah Dira pikirkan. Meski Dira mengakui bahwa ia mencintai pria bernama Abi, jauh sebelum Abi menikahi Sintia, Kakaknya. Mereka menikah atas permintaan terakhir kakaknya. Menikah yang sama-sama tak saling cin...