Setelah beberapa saat Abi merenung di ruangan seorang diri. Ia pun beranjak dari duduknya lalu menuju ke kamarnya. Di mana ada Dira di sana.
Abi menghela napas saat ia sudah berada di depan pintu kamarnya. Perlahan ia memutar kenop pintu yang tak dikunci. Di sana, di ranjang sosok Dira masih tak tidur. Apakah Dira menunggunya?
Entah kenapa senyum Abi terpancar dan ia mendekati Dira. "Kenapa belum tidur?"
Dira tersenyum tipis. "Belum ngantuk, Mas," jawabnya. Dira sebenarnya menunggu Abi. Bahkan ia menatap kamar Abi yang ada di rumah ini. Kamar yang rapi dan sederhana. Tak banyak perabotan di sini. Hanya ada lemari, meja, dan ranjang.
Abi duduk di tepi ranjang, tepat di samping Dira. Abi terdiam sejenak, masih memikirkan perkataan ibunya. Abi melirik Dira, lalu membuka suara memanggil nama istrinya.
"Dira."
"Ya, Mas?" Merasa terpanggil, Dira menoleh ke arah Abi.
Abi tak langsung membuka suara, Abi masih terdiam, ia ragu saat ingin mengucapkan.
"Gak jadi. Ayo kita tidur, ini sudah malam 'kan." Abi naik ke ranjang. Abi merasa saat ini bukan waktunya yang pas untuk membahas malam pertama yang tertunda.
Dira tak langsung naik ke ranjang. Sebenarnya mereka sama-sama memikirkan tentang ucapan orang tua. Sayangnya Abi mendengar permintaan itu hanya dari ibunya saja. Sedangkan Dira sendiri dari dua-duanya. Ibunya dan mertuanya.
"Mas," panggil Dira.
"Kenapa, Dir?"
Kini Dira yang terdiam. Dira pun menggeleng-gelengkan kepala.
"Gak jadi, Mas. Ayo tidur." Dira naik ke ranjang. Dira tidur membelakangi Abi.Abi melirik Dira. Entah keberanian dari mana, Abi menggeser tubuhnya lalu memeluk Dira dari belakang. Dira tentu saja terkejut dengan sikap Abi. Jantung mereka sama-sama berdetak hebat.
"Mas?"
"Gak papa 'kan, kalau Mas peluk kamu kayak gini?" tanya Abi.
Dira mengangguk. "Iya, gak papa, Mas." Dira akhirnya menikmati dan detak jantung mereka yang awalnya bertalu-talu mulai normal kembali.
Abi tersenyum, semakin merapatkan tubuh mereka.
"Sekalian kita belajar," ujarnya lirih. Tapi masih bisa didengar oleh Dira."Belajar?" beo Dira belum mengerti maksud dari perkataan Abi.
"Sementara ini, kita kontak kayak gini dulu, sebelum benar-benar ke tahab yang kamu pasti tau sendiri." Wajah Abi memerah. Betapa pengecutnya saat ia tak berani mengatakan ke tahab malam pertama kita yang selalu ditunda.
Dira merona, Dira tahu maksud dari ucapan Abi. Meski tak jelas, namun yang pasti menjurus pada hal tanda kutip.
****
Karena hari ini Abi tak bekerja, ia meluangkan waktu bersama Dira. Apa lagi kalau bukan mengantar Dira belanja, memasak bersama meski Abi malah terlihat merusuh. Membantu Dira menyapu, sedangkan istrinya mengepel.
"Dir, gimana kalau kita cari seseorang yang bisa bersihin rumah ini?" tanya Abi ketika merasakan betapa lelahnya mengurus rumah. Abi patut mengacungi jempol saat para istri bersedia membersihkan seorang diri tanpa pembantu.
"Gak usah, Mas, aku masih bisa sendiri kok. Rumahnya 'kan, gak besar-besar amat." Dira melolak gagasan Abi. Ia malah masih kuat kok. Mana ngepelnya juga gak setiap hari. Seminggu 3 kali Dira mengepelnya.
"Bener gak papa? Aku gini aja capek banget," keluh Abi. Pasalnya saat Sintia masih ada, Abi menyewa seseorang untuk membersihkan rumahnya, setelah selesai bersih-bersih bisa langsung pulang. Membayar upah juga tiap bulan. Sayangnya, saat Sintia sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit, Abi menghentikan sewa bersih-bersih dan membiarkan asisten rumah tangga ibunya membersihkan rumah ini.
Dira tertawa kecil, kenapa suaminya tetap tampan meski berkeringat dan mengeluh. Coba saja Abi membuka kaosnya, Dira pasti tak bakal menolak asupan itu. Sah juga 'kan melihat tubuh suami.
"Mas cukup cari uang yang banyak, aku yang ngurus rumah."
Abi terharu mendapat istri seperti Dira. Dira tak menuntutnya ini itu, bahkan bersikap sangat baik. Berterima kasihlah pada Sintia telah membuatnya menikah dengan Dira. Tangan Abi mengusak rambut Dira dan terkekeh kecil.
"Iya, nanti Mas cari uang yang banyak."
"Harus itu," canda Dira dan Abi hanya tersenyum.
"Mas," panggil Dira setelah beberapa saat mereka sama-sama diam.
"Kenapa, Dir?" tanya Abi.
Dira mendongak, menatap mata hitam Abi yang seakan menghipnotisnya.
"Soal pembahasan kemarin—" Dira menjeda ucapannya. Ia mau tak mau harus memberitahu pembahasannya dengan ibunya dan juga botol kecil pemberian ibunya.Sebelum Dira melanjutkan ucapannya, ia membasahi bibir keringnya namun Abi yang melihat itu malah gagal fokus.
Ya Allah, kenapa godaannya sangat berat. Miris Abi pada dirinya sendiri.
"Mas? Dengar gak apa yang aku ucapin tadi?" Dira melambaikan tangannya tepat di depan wajah Abi.
Abi tersadar dan ingin mengubur dirinya saja saat ia sama sekali tak mendengar apa yang diucapkan Dira.
"Tadi kamu bilang apa, Dir? Maaf, Mas gak dengar." Abi meringis kecil.Dira mengerucutkan bibirnya. Tak tahukah kamu, Dira, suamimu sedang mode on.
"Ya ampun, Mas, masa iya aku ngomong lagi."
"Ya maaf, Mas bener-bener gak denger."
"Ya udah, Dira mulai lagi. Kemarin tuh, sebelum ibu Mas Abi bahas tetang cucu, ibu juga bahas hal yang sama. Bahkan ibu juga kasih Dira botol kecil, biar Mas Abi kuat," jelas Dira dan lirih di akhir kalimat.
"Hah?"
"Iya, Mas. Aku jadi bingung jawab apa, jadinya aku bilang sama Ibu suruh doain aja yang terbaik."
Abi diam untuk mencerna penjelasan Dira. Tak lama matanya belalak tak percaya. Jadi, semua berharap mereka segera punya momongan.
"Me-menurutmu, kita gimana Dir?" tanyanya sedikit terbata-bata.
Wajah Dira bersemu. "Ya gimana mau punya Mas, kalau kita saja selalu menundanya." Dira beranjak dari duduknya. Berjalan menuju ke dapur untuk mengambil minum.
Dira menutup wajahnya dengan kedua tangan. Apa-apaan tadi? Ih, kenapa malah perkataannya seperti ajakan. Dira jadi malu 'kan.
"Mas Abi jadi mikir macam-macam gak ya soal tadi? Kelihatan banget aku yang kebelet. Padahal 'kan memang iya. Eh enggak maksudnya." Dira menepuk keningnya. Bisa-bisanya ia salah bicara.
"Mas Abi juga kayaknya pasif banget. Ngajak aja enggak. Apa jangan-jangan seksualitasnya patut dipertanyakan?" Pikiran Dira mulai nyeleneh. Seusai minum, Dira kembali menuju ke Abi berada.
Abi menoleh saat Dira duduk di sampingnya. Sedari tadi ia sedang memikirkan apa yang terbaik untuk mereka. Bukan hanya desakan orang tuanya saja, sejujurnya Abi juga ingin punya anak sendiri. Seperti teman-temannya yang memamerkan kelucuan anak-anaknya.
"Dir," panggil Abi pada Dira dan mulai serius. Entah nanti Dira mengiyakan atau menolak, setidaknya Abi sudah bertanya.
"Iya, Mas. Kenapa?"
"Kalau malam ini Mas minta hak, apa kamu memberinya?"
****
12/02/22
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐩𝐚𝐫 (𝐄𝐍𝐃)
RomanceMenikah dengan Ipar bukan sesuatu yang pernah Dira pikirkan. Meski Dira mengakui bahwa ia mencintai pria bernama Abi, jauh sebelum Abi menikahi Sintia, Kakaknya. Mereka menikah atas permintaan terakhir kakaknya. Menikah yang sama-sama tak saling cin...